Nationalgeographic.co.id—Terumbu karang, seringkali dianggap sekadar kumpulan batu karang, ternyata adalah ekosistem dinamis yang dibangun oleh jutaan makhluk hidup kecil bernama polip. Polip-polip ini, berbentuk seperti tabung dengan tentakel mengelilingi mulutnya, bekerja sama membangun struktur kapur yang kokoh.
Salah satu peran krusial terumbu karang adalah sebagai benteng pertahanan alami. Struktur kompleksnya yang menyerupai labirin bawah laut mampu meredam kekuatan gelombang hingga 86%.
Bayangkan, terumbu karang bagaikan tembok raksasa yang melindungi garis pantai dari abrasi dan hempasan badai. Tanpa terumbu karang, banyak pulau dan kawasan pesisir akan semakin rentan terhadap kerusakan.
Selain sebagai pelindung, terumbu karang juga merupakan rumah bagi ribuan spesies makhluk laut. Di Indonesia, khususnya di Semenanjung Doberai, keanekaragaman hayati terumbu karang mencapai puncaknya.
Dengan lebih dari 600 spesies karang dan 1.638 spesies ikan, seperti dilansir laman Reef Resilience, kawasan ini menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia. Banyak di antara spesies yang ditemukan di sini adalah endemik, artinya hanya dapat ditemukan di wilayah tersebut.
Sayangnya, keindahan dan manfaat terumbu karang terancam oleh berbagai aktivitas manusia. Bagaimana itu bisa terjadi?
Pudarnya kehidupan biota laut
Indonesia, dengan kekayaan maritimnya yang luar biasa, memiliki hamparan terumbu karang terluas di dunia, mencapai sekitar 2,5 juta hektare. Keanekaragaman hayati bawah lautnya pun sangat tinggi, dengan perkiraan 569 spesies karang menghuni perairan Nusantara.
Namun, keindahan alam bawah laut ini terancam oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pemutihan karang. Fakhrizal Setiawan dari Wildlife Conservation Society dan timnya dalam penelitian terumbu karang di taman wisata perairan yang terbit di Journal of Fisheries and Marine Science pada 2017. Judulnya, Pemutihan Karang Akibat Pemanasan Global Tahun 2016 terhadap Ekosistem Terumbu karang: Studi Kasus di TWP Gili Matra (Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan, Provinsi NTB.
Setiawan dan timnya meneliti kasus di Taman Wisata Perairan Gili Matra, Nusa Tenggara Barat. Mereka mengungkapkan bahwa peningkatan suhu laut secara signifikan selama sepuluh bulan telah menyebabkan peristiwa pemutihan karang massal.
Fenomena ini terjadi ketika karang mengalami stres akibat suhu air yang terlalu tinggi. Akibatnya, karang-karang itu kehilangan alga simbion yang memberikan warna dan nutrisi, berikutnya karang tampak memutih dan rentan terhadap kematian.
Baca Juga: AS Alihkan Utang Indonesia Rp546 Miliar untuk Pelestarian Terumbu Karang
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR