"Dampak jangka lama dari pemutihan karang terjadi jika susunan struktur terumbu karang secara fisik hancur akan berakibat pada
penurunan keanekaragaman spesies ikan terumbu," ungkap Setiawan dalam penelitian itu.
Namun, ia menambahkan tentang aspek yang menentukan seberapa cepat terumbu itu pulih. "Proses pemulihan karang pasca-bleaching banyak tergantung pada keanekaragaman komunitas terutama kelimpahan ikan herbivora yang memakan alga," ungkapnya. "Pemulihan karang keras pasca gangguan berbanding lurus dengan pemulihan komunitas ikan karangnya."
Menurutnya, ikan herbivora berperan mengurangi alga, sehingga karang muda dan karang dewasa yang sedang dalam pemulihan dapat berkembang lagi.
Data pengamatan menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen karang di beberapa lokasi di Gili Matra mengalami pemutihan. Peristiwa serupa juga pernah terjadi pada 1998, ketika Indonesia kehilangan 16 persen populasi terumbu karangnya akibat pemutihan massal.
Selain faktor alam seperti perubahan iklim, aktivitas manusia juga turut berkontribusi dalam kerusakan terumbu karang. Menurut Juspri Ginting, "Kerusakan terumbu karang akibat aktifitas wisata yang vandalisme, penangkapan ikan yang destruktif, dan kerusakan lainnya akibat kesalahan teknis manusia memberikan dampak yang lebih serius dan permanen."
Ginting mengungkapkan dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Kerusakan Terumbu Karang dan Upaya Pengelolaannya, terbit di Jurnal Kelautan dan Perikanan Terapan, Edisi Khusus 2023.
Penangkapan ikan secara destruktif yang dimaksud adalah dengan menggunakan bahan peledak, racun, atau alat yang merusak. Praktik ilegal ini tidak hanya menghancurkan habitat ikan, tetapi juga merusak struktur terumbu karang itu sendiri. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah mengatur larangan terhadap praktik ini, namun pelanggaran masih kerap terjadi.
Ginting menambahkan, "Untuk menjaga kelestariannya upaya pengelolaan dan restorasi terumbu karang harus mendapat dukungan dan kontribusi dari berbagai pihak dan lintas sektor."
Ancaman terhadap terumbu karang tidak hanya berasal dari praktik-praktik yang secara langsung merusak. Kegiatan yang tampak sederhana seperti snorkeling atau menyelam pun dapat berdampak negatif jika tidak dilakukan dengan hati-hati.
Menginjak atau menyentuh terumbu karang, bahkan memberi makan ikan, dapat mengganggu keseimbangan ekosistem yang telah terjalin selama ribuan tahun.
Yayan Mardiansyah Assuyuti dari Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, dan Azkiya Banata dari Bogor Agricultural University mengungkap fakta mengejutkan lainnya.
Penelitian mereka terbit di Majalah Ilmiah Biologi Biosfera : A Scientific Journal pada 2018. Tajuknya, "Distribusi dan Jenis Sampah Laut serta Hubungannya terhadap Ekosistem Terumbu Karang Pulau Pramuka, Panggang, Air, dan Kotok Besar di Kepulauan Seribu Jakarta".
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR