Apa yang terlintas dibenak Anda ketika mendengar nama “Dubai”? Umumnya sepakat, bahwa yang terbayang adalah kota metropolitan di tengah gurun Uni Emirat Arab dengan gedung-gedung pencakar langit yang dibelit jalan-jalan layang. Atau, metropolitan yang menyediakan apapun keinginan Anda: dari rumput menghijau sampai salju, dari basement mal-mal mewah sampai menara tertinggi di dunia, Burj Kalifa, ikon baru di Timur Tengah setinggi 828 meter!
Seorang pedagang asal Pakistan bahkan berkelakar, “Di gurun ini semuanya bisa disulap menjadi tempat hiburan mewah bergaya Barat,” ujarnya, “kecuali hanya satu yang selalu tetap: cuaca yang panas dan membakar.”
Namun, sejatinya ada lagi yang tidak berubah di Dubai. Sebuah permukiman lama akhir abad ke-19 yang dibangun saudagar-saudagar asal Iran di pinggiran Sungai Dubai yang ramai lalu-lalang kapal-kapal pengangkut. Lokasinya berseberangan dengan pasar emas dan pasar rempah yang selalu ramai. Mereka menamai tempat tinggal di tanah rantauan itu dengan sebutan Bastakiya yang mengacu pada Kota Bastak di Iran Selatan.
Permukiman di kampung lama Bastakiya ini berbentuk kotak-kotak dengan warna khas gurun, yang dibelah gang-gang sempit. Di beberapa sudut tampak barjeel, menara segi empat yang berfungsi sebagai pendingin ruangan buatan kearifan teknologi masa lalu.
Di sebuah lorong yang lebar, berjajar toko-toko tekstil yang menawarkan pashmina atau kafiye. Penjualnya para pedagang asal Pakistan dan India. Cara menawarkan mereka kadang mengagetkan. Betapa tidak, ketika Anda berjalan tiba-tiba dikalungi kafiye, lalu diajak setengah memaksa ke toko si penjual.
Kian malam, Bastakiya kian semarak. Kapal-kapal motor hilir mudik. Sesekali mengalah lantaran sebuah dhow besar—kapal dalam tradisi Arab— yang membawa para pelancong menikmati makan malam sembari menyusuri Sungai Dubai.
Jadi, jika Anda menikmati gemerlapnya kehidupan Dubai modern, tengok juga pesona tradisi masa lalu negeri yang dulunya kampung nelayan ini. Tentulah, saya merasa beruntung dapat mengikuti kegiatan pelesir bersama maskapai Garuda Indonesia. Di sini, saya ingin mengajak Anda menyaksikan tergelincirnya matahari sore nan indah sembari menikmati teh arab dari teko-teko aladin di Bastakiya. Tertarik mengikuti jejak saya?
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR