Cahaya berwarna warni dan citra bergerak tiga dimensi menghiasi monumen legendaris kebanggaan warga Ibu Kota sepanjang akhir pekan ini saat digelarnya pentas kolosal "Ariah", pada 28 - 30 Juni 2013. Menjadi pemandangan tak biasa, terlebih dengan adanya panggung raksasa di salah satu sisi cawan Monas.
Inilah arena pertunjukan bagi 200 penari yang melenggokkan gerak dan lagu dengan iringan orkestra yang dibawakan 120 musisi. Hasil kerja sama mengagumkan dari sutradara dan penulis naskah Atilah Soeryadjaya, penata artistik Jay Soebyakto, penata music Erwin Gutawa, serta koreografer Eko Supendi dan Wiwiek Sipala.
Dalam tulisannya yang dimuat di buku acara, Jay menggambarkan sosok Ariah sebagai, “Perempuan Betawi yang hidup pada 1860-an yang berjuang demi membela kehormatan dan harga dirinya.” Begitu gigihnya, hingga Ariah dijadikan simbol perlawanan terhadap penindasan dan pengkhianatan atas kaumnya, bahkan bangsanya.
Dikisahkan, pada era kolonial Belanda, rakyat semakin menderita akibat perlakukan semena-mena kaum penjajah dan tuan tanah. Dengan kesadaran, Ariah mengajak teman-temannya berjuang menumpas penindasan di wilayah Batavia. Berbekal ilmu silat yang dikuasainya, Ariah mempertahankan martabat dan kehormatannya.
Lebih dari satu setengah abad berlalu, sosok Ariah tetap melegenda. Sebagaimana disampaikan Atilah di buku acara, “Cerita Ariah mengandung banyak makna yang menembus batas ruang dan waktu. Keberaniannya melawan keadaan, penindasan oleh para penguasa yang terjadi kala itu sungguh sangat terasa keterkaitannya dengan ruang dan waktu pada masa kini.”
Tokoh Ariah diperankan oleh Ida Sunaryono. Penari berdarah Jawa ini mengakui adanya persamaan karakter antara dirinya dan Ariah yang sama-sama “tegas, tidak takut tantangan, berani, suka bela diri, dan usil.” Dalam sebuah adegan, dengan lantang, ia menyenandungkan bait, “Kan kulawan kesengsaraan, penindasan, kemurkaan. Semangat tuk masa depan.”
Penulis | : | |
Editor | : | Fatimah Kartini Bohang |
KOMENTAR