“Keppres tersebut merupakan bentuk apresiasi pemerintahan melalui perspektif sejarah, sosiologi dan hubungan internasional,” ungkap Agni Malagina, dosen Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
“Dalam pandangan saya,” tuturnya, “Presiden mempunyai konsekuensi jabatan dalam menghadapi etnis-etnis Cina yang ada di Indonesia dan juga RRC yang mempunyai misi diplomatik di Indonesia.”
Agni berkomentar tentang Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 yang disahkan pada Maret silam. Kebijakan tersebut berkait soal pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pres. Kab/6/1967 yang terbit pada 28 Juni 1967.
Kebijakan tersebut mengatur bahwa dalam “semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan”, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa. Juga, dalam menyebut Negara Republik Rakyat Cina diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
“Saya berpendapat bahwa Keppres ini hanya difungsikan mengikat pada setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan,” ungkapnya. Menurutnya, yang disebut penyelenggaraan pemerintahan adalah semua jenjang pemerintahan dan seluruh institusi yang dibiayai oleh APBN terutama yang berada di bawah garis pimpinan Presiden Republik Indonesia. “Seperti kementerian dan lembaga di bawahnya, termasuk institusi pendidikan.”
Sehingga, lanjut Agni, penggunaan kata Tionghoa dan Tiongkok hanya berlaku dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. “Dalam hal ini saya melihat, Presiden selaku pembuat keputusan berusaha mengakomodasi beberapa kelompok yang memiliki kepentingan terhadap penggunaan kata tersebut dan [kelompok] yang juga ingin tetap menggunakan kata Cina.”
Artinya, kebebasan penggunaan kata Cina bagi masyarakat luas juga tercermin dalam Keppres tersebut. “Di luar kegiatan pemerintahan," demikian katanya, "masyarakat tidak diharuskan menggunakan kata Tionghoa dan Tiongkok.”
Penyebutan “Cina” sudah digunakan sejak zaman VOC, atau pada masa yang lebih awal lagi. Sementara, penyebutan “Tionghoa” baru populer di Hindia Belanda setelah masyarakat Cina di Batavia mendirikan perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pada 1900, sebuah gerakan yang bertujuan mengembalikan jati diri mereka kepada budaya leluhur. Tahun berikutnya mereka mendirikan sekolah dengan nama yang sama di Patekoan, dan dengan cepat menjamur di beberapa kota besar di Jawa.
Sementara itu kata “Tiongkok” mengacu pada “Zhongguo” (baca: Cungkuo), sebutan ringkas untuk “Zhonghua Renmin Gongheguo” atau Republik Rakyat Tiongkok.
Agni mengungkapkan tampaknya terdapat perbedaan motif penggunaan sebutan Tionghoa pada zaman dahulu dan saat ini. “Kecenderungan sekarang [muncul] sebagai kesadaran politis,” ujarnya. “Beda zaman dahulu, kata Tionghoa dipakai untuk kesadaran etnis.”
Namun demikian, Keppres ini tidak berlaku untuk frasa yang menggunakan kata Cina. “Daerah Pondokcina tidak serta merta dapat diganti menjadi Pondok Tionghoa,” ujarnya. “Cina Benteng tidak serta merta menjadi Tionghoa Benteng.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR