Bertepatan dengan hari kelima bulan kelima penanggalan Imlek, sungai Kapuas menjadi tempat mandi ratusan warga Tionghoa yang tinggal di sepanjang Kapuas. Ada peristiwa apakah hari ini?
"Selamat Ko Ciat!", beberapa status di tembok Facebook kawan-kawan Pontianak dan Singkawang bertaburan kalimat selamat Ko Ciat. Saya pikir kalimat itu artinya adalah “Selamat Pagi!” Ternyata dalam bahasa dialek Hakka, kalimat tersebut artinya adalah “Makan Besar”. Ada perayaan apakah hari ini?
Ya, hari itu adalah hari diperingatinya kematian Qu Yuan (340-278 SM), seorang penyair besar pada masa Dinasti Chu masa Negara Berperang Zhanguo Shidai (475-221 SM). Politisi kritis itu diduga bunuh diri pada masa pengasingannya. Jenasah Qu Yuan pun tidak pernah ditemukan.
Masyarakat yang mencintainya kemudian membuat makanan yang dibungkus daun bambu, sekarang dikenal sebagai Bacang. Kemudian mereka melemparkan bacang tersebut ke sungai agar tubuh Qu Yuan tidak dimakan oleh ikan buas, mereka juga meletakkan bacang di tepi sungai agar jika Qu Yuan bersembunyi di dalam hutan ia akan keluar untuk mengambil makanan tersebut.
Begitu pula ada banyak orang yang menggunakan perahu menyusuri sungai untuk mencari tubuh Qu Yuan, namun tubuh itu tak pernah ditemukan. Setiap tahun, masyarakat Tiongkok mengingat Qu Yuan dengan acara makan Bacang, Perahu Naga dan diselingi pesta Lampion. Sebuah tradisi tua yang terus singgah dari generasi satu ke generasi yang lain, dari masa dinasti hingga era globalisasi. Terkadang juga mengalami komodifikasi. Di Indonesia pun masih terdapat beberapa daerah yang merayakan Pehcun.
Mengapa ada Ko Ciat? Mengapa ada tradisi berenang di sungai dan mengambil air Wushishui (air waktu tengah hari) pada waktu siang tengah hari?
Tradisi Ko Ciat atau makan besar hari ini disiapkan oleh para perempuan untuk menyambut perayaan makan Bacang. Bukan pesta, tetapi memasak untuk seluruh anggota keluarga besar. Makan bersama, bersama duduk dan bercerita memperkenalkan tradisi. Biasanya Ko Ciat dilakukan untuk makan sore atau malam. Tak heran, banyak etnis Tionghoa di Pontianak menutup tokonya setelah pukul 13.00. Mereka bersiap untuk Ko Ciat bahkan banyak di antara mereka yang mengikuti tradisi mandi di Kapuas sebelum merayakan Ko Ciat.
Setiap tahun, antara pukul 11.00-13.00, para pemuda dan amoy-amoy tak terkecuali anak-anak bersampan ria di tengah sungai Kapuas, mereka yang telah dewasa biasanya menceburkan diri ke Sungai Kapuas, berenang-renang dan mengambil air sungai tepat pada pukul 12.00 siang.
Tradisi ini dipercaya untuk membuang sial, duka dan lara. Menumpahkan segala gundah dan gulana, membersihkan diri dengan air yang dianggap mampu menghanyutkan segala bentuk energi negatif sekaligus mendatangkan kebaikan dan keberuntungan.
Mereka juga mengambil air, membungkusnya dalam plastik-plastik atau menyimpannya dalam jerigen. Konon air ini kemudian disimpan di rumah, sering digunakan untuk air obat, setahun pun tak akan berubah rasa dan tiada berbau.
Sesaat bersampan dengan sampan dayung, kami pun berpapasan dengan kapal lain yang membawa serombongan pemuda-pemudi, berjumlah delapan orang. Mereka mendekat dan berteriak, “Selamat Kociat, ayo kakak berenang melepas sial.” Saya pun membalas teriakan mereka, “Selamat Kociat, saya tidak bisa berenang.” Pedayung sampan pun tertawa.
Mereka yang semuda itu masih berenang dengan jumawa di Kapuas, masih percaya keberuntungan akan datang setelah melarung duka di Kapuas. Tak peduli budaya tradisinya masih tradisional atau dianggap sudah ketinggalan jaman, mereka tetap berenang menyambut Ko Ciat. Sampai pada titik ini, budaya tradisional transnasional Tionghoa di Indonesia bertahan. Selamat Ko Ciat!
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR