Pagelaran akbar Festival Nusantara yang diselenggarakan di Batur, Kintamani, Bali, pada 8-17 Agustus 2015 mengusung tema "Peradaban Matahari".
"Peradaban matahari berarti memahami Sang Surya sebagai sumber energi utama di alam semesta," kata Presiden Festival Nusantara 2015 Ngurah Paramartha di Kuta, Minggu (9/8/2015).
Ia menjelaskan, dalam tradisi Nusantara, matahari sebagai maha cahaya tertinggi juga dipahami sebagai daya energi maskulinitas, sedangkan cahaya bulan (candra) sebagai representasi daya energi feminitas.
Ia menambahkan Bali mempertahankan kearifan visi kesemestaan yang menyeluruh,utuh dan holistik sesuai peradaban Matahari itu lewat sistem penanggalan Pawukon Nusantara.
Dikatakan, sistem Pawukon inilah manusia Bali mengatur dan menentukan gerak langkah irama hidupnya dari awal memulai sesuatu dan juga menentukan gerak tujuan akhir kehidupannya.
"Jika berbicara Bali, pemujaan kepada Sang Surya sebagai Siwa-Raditya, Gayatri mantram dikumandangkan agar Sang Matahari menganugerahkan kecemerlangan pikiran (dhi) yang gilang gemilang (jyotir)," kata dia.
Menurut dia, tradisi Bali menuntun agar manusia tak salah waktu,lLebih monumental lagi itu ditandai lewat momentum purnama-tilem, hari ketika bulan terang penuh dan hari saat bulan gelap penuh.
"Siwa Raditya dan Rudra yang berwarna kekuning-kuningan kemerah-merahan diapresiasi sebagai Rodasi dalam wujud Ardhanareswari, dualitas harmonis berkesetaraan yang tidak terpisahkan," katanya.
Lebih lanjut, Paramartha menuturkan, apresiasi manusia Bali pada Sang Matahari sebagai sumber energi kehidupan, menjadikan Peradaban Matahari di Bali menjadi sedemikian kental dalam keseharian, menjadi visi hidup spiritual manusia Bali dan konteks pemujaan, posisi Matahari dipilih lewat pemilihan subha dewasa, hari baik, dan dauh (momentum saat) yang tepat.
"Betapa pentingnya peran matahari sehingga kami memakai tema utama pada pagelaran akbar bertema nusantara terbesar di Pulau Dewata ini," kata dia.
Disinggung mengenai pagelaran Festival Nusantara, Paramartha mengemukakan, festival tersebut merupakan upaya untuk mengembangkan daya apresiasi masyarakat atas kekayaan narasi lokal yang berdimensi universal
Selain itu, pihaknya merancang festival secara berkelanjutan setiap tahun dengan fase pertama mencakup kurun waktu tujuh tahun dan tahun ini merupakan periode tahun pertama.
Dikatakan pagelaran akbar terbesar di Kabupaten Bangli disebut juga dipakai sebagai sebuah wahana forum pertemuan para penulis, pekerja kreatif serta aktivis budaya dan sejarah.
Selain itu, juga melibatkan peserta berasal dari berbagai unsur pemerintah, tokoh masyarakat, perwakilan desa adat dan kepala desa, LSM, perupa, budayawan, akademisi, pelajar SD dan SMP dari daerah sekitar kegiatan, termasuk guru dan kepala sekolahnya.
"Ditambah peliputan luas oleh media cetak dan elektronik, televisi, radio, koran, dan majalah, bersamaan dengan momentum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ke-70, tanggal 17 Agustus mendatang," katanya.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR