Kecantikan merupakan hal kecil yang sulit dipahami dan berubah-ubah. Meski begitu, sebagian besar dari kita berusaha untuk memperjuangkannya setiap hari. Misalnya, dengan mencoba berbagai gaya rambut, membuat gigi lebih putih, dan mencegah agar pori-pori tidak terlihat.
Di beberapa negara, upaya kecantikan tersebut membutuhkan pengorbanan – termasuk biaya yang tidak sedikit. Namun, di Brasil, itu bukanlah masalah.
Karena semua penduduknya dianggap memiliki hak asasi untuk menjadi cantik, pemerintah Brasil memberikan subsidi bagi setengah juta operasi plastik setiap tahunnya.
Baca juga: Terlalu Lama Terpapar Polusi Udara Sebabkan Perubahan Genetik Otak
Di beberapa rumah sakit, disediakan operasi plastik dengan biaya rendah atau bahkan gratis.
Gagasan mengenai kecantikan sebagai hak asasi manusia, bisa ditelusuri kembali ke 1950-an. Saat itu, ahli bedah bernama Ivo Pitanguy, meyakinkan presiden Juscelino Kubitschek bahwa kecantikan sama pentingnya dengan kebutuhan kesehatan lainnya. Ia mengatakan, wajah buruk rupa bisa menyebabkan penderitaan psikologis dan harus dianggap sebagai salah satu masalah kemanusiaan.
Awalnya, yang berhak menerima subsidi adalah penduduk dengan cacat lahir atau korban luka bakar. Namun, saat ini, hampir semua warga Brasil dianggap layak menerima prosedur operasi plastik dengan alasan estetika.
Tentu saja, warga Brasil sulit mengatakan tidak pada operasi plastik. Di Amerika Selatan, kecantikan sendiri merupakan faktor penting dalam mendapatkan pekerjaan atau suami.
Saking populernya, konsumen operasi plastik di Brazil menjadi kedua terbesar di dunia. Ada sekitar 1,2 juta operasi setiap tahun.
Namun, itu bukan tanpa risiko. Menurut laporan Vice, di balik ‘hak asasi untuk menjadi cantik’ dan biaya operasi yang murah, terdapat berbagai masalah.
Beberapa prosedur sering memakan waktu tunggu yang lama – bisa berbulan-bulan hingga tahunan.
Baca juga: Mengapa Banyak Orang Terobsesi Dengan Keluarga Kerajaan Inggris?
Source | : | New York Post |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR