Nationalgeographic.co.id—Lampu utama dipadamkan. Lalu, berganti sorotan lampu yang memandu perhatian pada koridor utama: Sosok tubuh terbungkus kain putih yang misterius.
Ia menggeliat dan menyeruak mencari kebebasan. Dalam pendar cahaya merah, siluet gerakan-gerakan dan suara-suara mulut menciptakan adegan dramatis. Ketika akhirnya terbebas dari jerat kain putih, sosok misterius itu menampakkan diri sebagai manusia purba dengan gerakan acak dan liar. Wajah dan sekujur badannya berbulu kecokelatan, tanpa balutan busana.
Lampu utama kembali menyala sebagai penanda pertunjukan usai. Tepuk tangan membahana di halaman tengah Museum Nasional Indonesia.
Sosok seniman tarinya adalah Sardono W. Kusumo, seorang senior yang dikenal sebagai maestro tari kontemporer. Malam itu ia membawakan pertunjukkan “Homo erectus Soloensis” yang menyajikan metafora perjalanan manusia dari masa lalu yang gelap menuju peradaban modern.
Pentas ini membuka pameran fosil manusia dan fauna purba bertajuk, "Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus Erectus".
Nama Pithecanthropus erectus bermakna "manusia kera yang berdiri tegak", yakni merujuk fosil manusia purba temuan Eugene Dubois pada 1891 di Trinil, dekat Sungai Bengawan Solo di Jawa Timur. Fosil itu kini menjadi koleksi Naturalis Biodiversity Center, Leiden, Belanda.
Dalam perkembangan paleontologi, nama spesies ini digabungkan dalam spesies Homo erectus. Cirinya, memiliki kapasitas otak yang lebih besar, sehingga memiliki kemampuan membuat alat-alat dari batu, dan berjalan tegak. Mereka merupakan nenek moyang langsung manusia modern, hidup sekitar 1,9 juta hingga 143.000 tahun silam.
Selama pameran yang digelar pada 20 Desember 2024 sampai 20 Januari 2025, kita bisa menyaksikan secara langsung kranium Homo erectus paling legendaris, yang berjulukan Sangiran 17 atau Pithecantropus Erectus VIII. Satu-satunya Homo erectus yang memiliki 'wajah', dan hidup 0,7 juta tahun silam. Penemunya bukan peneliti, melainkan Tukimin dan Towikromo. Keduanya warga Dusun Pucung, Desa Dayu, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. Kini, desa itu menjadi bagian dari kawasan Situs Sangiran Warisan Budaya Dunia yang ditetapkan UNESCO.
“Indonesia memberikan perspektif baru bagi penemuan manusia purba,” ucap Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sambutannya. Ia menyebutkan bahwa melalui teori Out of Africa, penemuan fosil manusia purba di Indonesia menjadi bukti jejak evolusi manusia di nusantara. Teori ini menyiratkan bahwa migrasi manusia modern dari Afrika kelak menggantikan populasi Homo erectus yang ada di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Melalui pameran ini, ungkapnya, kita mengingatkan dunia bahwa bab pertama peradaban manusia tidak hanya dimulai di Afrika, tetapi juga menemukan kekuatan dan kompleksitasnya di Nusantara.
Baca Juga: Revitalisasi Fort Vredeburg: Ikhtiar Menghidupkan Kembali Kastel Tua Pengikat Jiwa Kota
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR