Fadli Zon juga menuturkan bahwa Nusantara bisa menjadi titik awal yang penting dalam pencarian jejak missing link atau kaitan yang hilang dalam perjalanan evolusi manusia. Artinya, negeri kita memiliki peran besar dalam perkembangan evolusi manusia. “Indonesia adalah peradaban terkuat di dunia. Hampir 60 persen fosil Homo erectus di dunia, ditemukan di Jawa, Indonesia. Kita adalah salah satu peradaban tertua di dunia,” simpul Fadli Zon.
Pameran ini merupakan kesempatan langka karena untuk pertama kalinya Sangiran 17, yang merupakan koleksi Museum Geologi Bandung, dipamerkan bersama tiga fosil Homo erectus lainnya koleksi Museum Manusia Purba Sangiran. Pada kesempatan ini dipamerkan juga koleksi-koleksi dari Museum Mpu Tantular dan Fadli Zon Library. Selain itu pameran ini juga mendapat dukungan dari Badan Riset Inovasi Nasional.
Malam dan hujan tampaknya tidak menyurutkan antusiasme pengunjung untuk melihat koleksi pameran. Ruang pamer tampak ramai pengunjung yang rela untuk mengantre demi menyaksikan 'rupa' leluhur manusia modern itu.
Koleksi kranium Sangiran 17 begitu istimewa karena satu-satunya Homo erectus yang wajahnya sampai pada kita sehingga replikanya tersebar di museum penjuru dunia. Ia tampil dalam sekat dengan tirai hitam tebal, dan penerangannya hanya mengandalkan lampu di dalam kotak kaca pamer.
Mereka menyimak pemandu yang menceritakan penemuan di setiap ruang koleksi. Dari kuda nil purba, kepala banteng purba, mastodon, dan stegodon yang memperkaya narasi tentang ekosistem awal Nusantara. Selain menampilkan fosil-fosil yang ditemukan warga dan ahli paleontologi, pameran ini juga menampilkan replika fosil.
Ruly Fauzi, seorang ahli arkeologi dan paleoantologi dari Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah di Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengungkapkan apresiasinya. Menurutnya, peran penemuan oleh warga seharusnya bisa menjadi bagian narasi pameran ini.
Penelitian Ruly bertumpu pada peranti dan permukiman masa prasejarah dalam konteks migrasi, adaptasi, dan evolusi manusia di kepulauan Indonesia. Para peneliti lapangan, seperti Ruly, begitu menghargai warga di sekitar situs prasejarah. Mereka memiliki pengetahuan tentang geografi dan riwayat temuan-temuan warga, yang sangat berguna bagi peneliti. Proses penelitian akan lebih mudah apabila mereka bekerja sama dengan komunitas setempat.
Masyarakat setempat ibarat rekan peneliti di lapangan. Warga yang terlibat dalam pelestarian situs arkeologi atau paleontologi sejatinya merupakan agen pelindungan temuan-temuan dari kerusakan atau pencurian. Selain itu masyarakat yang terlibat dalam penelitian juga berperan semacam 'ilmuwan warga' yang turut menyebarkan pemahaman sains bagi komunitas setempat.
Masyarakat yang terlibat dalam penelitian, pelindungan, dan edukasi temuan sepatutnya mendapat penghargaan dan penghormatan. Saat ini Rully mencurahkan perhatiannya pada misi dekolonisasi, artinya saatnya sekarang untuk menampilkan narasi sejarah yang bertumpu pada peran masyarakat dalam penelitian. Misalnya, narasi peran Raden Saleh dalam sejarah perkembangan paleontologi Indonesia, atau warga-warga yang menjadi teladan dalam pelestarian dan pemanfaatan situs prasejarah bagi masyarakat.
"Semacam penghargaan ke masyarakat. Gainning awareness," ujar Ruly. "Agar masyarakat sadar , kita hidup di atas sejarah yang panjang."
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR