Bumi Mengisap Air Laut dalam Jumlah yang Banyak, Apakah Berbahaya?

By Loretta Novelia Putri, Senin, 19 November 2018 | 16:17 WIB
Ilustrasi Bumi dan air. (RomoloTavani/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Peristiwa gempa yang beberapa kali datang mengguncang Indonesia—dan dunia—membuat kita semakin mengetahui lempeng Bumi. Terkait dengan pengetahuan ini, sebuah temuan mengejutkan pun datang.

Peristiwa bertabrakannya lempeng Bumi yang menyebabkan anjloknya lempengan, ternyata menyeret air laut ke perut Bumi tiga kali lebih banyak dari yang pernah diperkirakan. Kesimpulan ini tertulis dalam makalah penelitian terbaru yang terbit dalam Jurnal Nature, pada Rabu (14/11/2018).

Dengan memakai guncangan seismik alami dari zona subduksi rawan gempa di palung Mariana—palung terdalam yang diketahui dan lokasi terdalamnya berada di kerak Bumi—para ahli bisa memperkirakan berapa banyak air yang terisap di dalamnya.

Baca Juga : Serangan Anafilaksis, Reaksi Alergi yang Dapat Menyebabkan Kematian

Palung tersebut terletak di dasar laut samudra Pasifik. Palung itu sendiri merupakan batas pertemuan antara dua lempeng tektonik, zona subduksi, di mana Lempeng Pasifik disubduksi di bawah Lempeng Filipina. Kedalaman Palung Mariana jauh di bawah permukaan laut dan dalamnya melebihi ketinggian Gunung Everest di atas permukaan laut.

Menurut Donna Shillington, ahli geologi dan geofisika kelautan dari Observatorium Bumi di Universitas Columbia, studi baru tersebut memiliki dampak yang besar untuk memahami bagaimana siklus air di dalam perut bumi.

"Air di bawah permukaan tanah dapat berkontribusi terhadap perkembangan magma dan dapat melumasi patahan, membuat gempa bumi lebih mungkin terjadi," ungkap Shillington dilansir dari Kompas.com pada Jumat (16/11/2018), dalam Live Science.

Cairan bisa masuk ke kerak dan mantel bumi pada saat lempeng samudra baru terbentuk atau saat terjadi subduksi.

Subduksi sendiri merupakan proses geologis yang terjadi pada batas-batas lempeng tektonik bertingkat di mana salah satu lempeng menunjam ke bawah lempeng lainnya dan tenggelam.

Namun, sampai saat ini masih sedikit sekali informasi yang memberitahukan seberapa banyak air yang dapat masuk ke lempeng bumi. "Sebelum kami melakukan penelitian ini, semua ahli tahu bahwa air akan diisap lempeng subduksi. Namun tidak ada satupun yang tahu berapa banyak jumlah air yang terisap," ucap Chen Cai, pemimpin studi dari Universitas Washington di St. Louis .

Para ahli menggunakan data yang diambil oleh jaringan sensor seismik yang ditempatkan di sekitar palung Mariana tengah di samudra Pasifik bagian barat. Bagian terdalam dari palung tersebut hampir mencapai 11 kilometer di bawah permukaan laut.

Sensor membaca gempa bumi dan gema gempa yang "berdering" melalui kerak bumi seperti bel. Cai dan tim kemudian melacak seberapa cepat perjalanan gempa bumi.

"Perlambatan dalam kecepatan akan menunjukkan fraktur berisi air di bebatuan dan mineral 'terhidrasi' yang mengunci air di dalam kristal," ucap Cai.

Cai dan tim memperhatikan dan mengamati perlambatan seperti itu jauh ke dalam kerak bumi, sekitar 30 kilometer di bawah permukaan laut.

Dengan menggunakan kecepatan yang terukur bersama dengan suhu dan tekanan, Cai dan tim dapat menghitung dan menemukan bahwa zona subduksi mengisap sekitar 3 miliar teragram air ke dalam kerak bumi setiap satu juta tahun. Teragram sendiri maksudnya adalah satu miliar kilogram.

Apabila dianalogikan, air laut sangat berat. Dalam satu meter air laut beratnya dapat mencapai sekitar 1.024 kilogram.

Baca Juga : Manusia Semakin Besar, Persediaan Makanan di Bumi Terancam Habis

"Namun jumlah air yang terisap di zona subduksi membingungkan. Ini tiga kali lebih banyak dari perkiraan sebelumnya," ungkap Cai.

Hal tersebut kemudian memunculkan pertanyaan baru, mengingat air yang terisap dapat memicu letusan pada gunung berapi. Bila jumlah air yang masuk ke kerak bumi jauh lebih banyak dari letusan gunung berapi, artinya ada jumlah yang hilang dan terlewat dari perhitungan.

Menurut Cai, tidak terdapat air yang hilang di lautan. Hal tersebut hanya berarti jumlah air yang terserap ke dalam kerak bumi dan jumlah yang dimuntahkan kembali harus sama seperti sebelumnya.

Sebenarnya, studi tersebut belum menunjukkan bahwa ada sesuatu mengenai bagaimana air bergerak melalui perut Bumi yang masih belum dimengerti.

"Banyak studi yang perlu difokuskan pada aspek ini," ucap Cai.