Sekolah Inklusi Pra SMP: Jalan untuk Melek Aksara bagi Para Tuli-Bisu di Desa Bengkala

By National Geographic Indonesia, Senin, 26 November 2018 | 12:04 WIB
Kegiatan belajar di kelas dengan bahasa isyarat. (Kurniawan Mas'ud)

Nationalgeographic.co.id - Desa Bengkala di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia, dikenal dengan sebutan Desa Kolok tanpa alasan. Terdapat sekitar 48 orang (dari 3.000 jiwa) di Desa Bengkala yang mengalami tuli-bisu atau dalam bahasa Bali disebut kolok. Sebagian besar masyarakat kolok di Desa Bengkala hingga saat ini tidak melek aksara. Dari total kolok di desa tersebut, hanya ada 4 orang yang berpendidikan SMP, 5 orang lulus SD, lalu sisa 39 orang masih buta huruf.

PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai bersama dengan (Forum Layanan Iptek Masyarakat) FlipMas Indonesia dan FlipMas Ngayah Bali, pada tahun 2015, merancang program kerja di bidang edukasi lewat KEM Kolok Bengkala, yang bertujuan memberantas buta huruf pada masyarakat kolok di Bengkala.

Selama ini, Desa Bengkala sudah memiliki sekolah inklusi bernama SDN 2 Bengkala. SD yang sudah ada sejak tahun 1978 ini pada awalnya adalah SD umum. Kemudian pada tahun 2007 berubah menjadi SD Inklusi. Anak-anak normal dan kolok bisa belajar bersama berdampingan. Saat ini, jumlah siswa di SDN 2 Bengkala ada 78 orang, termasuk 4 siswa kolok. Sementara, untuk guru pendamping khusus di SD, sekarang ada dua orang.

Baca Juga : KEM Kolok Bengkala, Rumah Harapan bagi Masyarakat Kolok Desa Bengkala

“Sebelum 2007, komunitas tuli-bisu di Bengkala tidak mengenyam pendidikan. Namun, setelah ada inklusi, anak-anak kolok bisa belajar. Mereka ditempa berbagai ilmu matematika, sains, dan juga diajarkan tiga bahasa isyarat yang berbeda; lokal, Bisindo, dan ISL. Mereka diajarkan bersaing,” ujar I Made Arpana, Kepala Desa Dinas Bengkala yang sebelumnya sempat ditemui di Kantor Desa.

Di wantilan KEM Kolok Bengkala, siang itu, banyak masyarakat kolok yang berkumpul hanya karena melihat kedatangan kami. Mereka mengucapkan “halo” dalam bahasa isyarat, dan menawarkan kami minum juga dalam bahasa isyarat. Rata-rata dari mereka masih belum melek aksara, tapi kesopanan dan kebaikan mereka jangan diragukan. Salah satunya ada Ariana.

Proses belajar menggunakan cara yang menarik. (Kurniawan Mas'ud)

Anak lelaki bernama lengkap I Ketut Ariana (14 tahun) ini tempo hari diundang ke Jakarta. Ia bersama 12 orang tuli-bisu lainnya didapuk untuk menyanyikan Indonesia Raya dengan bahasa isyarat di acara pembukaan Asian Para Games 2018. Ariana adalah salah satu anak kolok yang lulus SD Inklusi dan memegang ijazah SD. Ia bercerita, ketika sekolah, ia belajar dan bergaul bersama orang normal tanpa batasan. Wajahnya sumringah, bahkan ia mengakui kalau ia senang belajar. Hanya saja, dalam bahasa isyarat ia mengatakan, kalau sekolah lanjutannya jauh di kota. Oleh karena itu, ia putus sekolah.

Itu kenyataannya. Keberadaan SD Inklusi di Desa Bengkala ini ternyata belum cukup untuk dapat mengeluarkan masyarakat kolok dari buta huruf. Banyak orang kolok dewasa yang tidak bisa ikut bersekolah di SD Inklusi karena faktor usia yang tidak memenuhi syarat. Banyak juga anak kolok yang sudah lulus SD Inklusi dan ingin meneruskan sekolah, akhirnya harus terputus karena SMP Inklusi terletak jauh dari desa. Mereka juga seringkali lebih memilih bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.

“Ini yang akhirnya menggerakkan PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai bersama FlipMas Ngayah Bali untuk mengadakan program edukasi nonformal di Desa Bengkala bernama Sekolah Inklusi Pra SMP. Jadi, masyarakat kolok Bengkala yang ingin belajar atau meneruskan sekolah setelah lulus SD Inklusi, tidak perlu jauh-jauh ke kota. Waktu belajar pun bisa dipilih. Mengingat banyak yang memilih bekerja pada pagi sampai siang hari, maka sekolah bisa dilakukan sore hari,” ucap Ajar Darmawan, Spv. HSSE DPPU Ngurah Rai yang sedang berkunjung ke Desa Bengkala.

(Kurniawan Mas'ud)

“Dimulai pada pertengahan 2017, ada tiga komponen dalam program edukasi ini. Terdiri dari keaksaraan dasar di mana masyarakat kolok belajar calistung, keaksaraan fungsional di mana mereka memelajari ilmu alam, ilmu sosial, berhitung, dan lain-lain lewat keterampilan sosial, lalu baru menginjak pendidikan SMP Inklusi. Akhirnya, bentuk pendidikannya adalah SPNF (Satuan Pendidikan Nonformal). Kenapa nonformal? Karena usia yang ingin belajar berbeda-beda, tidak bisa dijadikan pendidikan formal,” tutur I Wayan Karyasa, anggota FlipMas Ngayah Bali Divisi Pendidikan, yang juga adalah dosen Universitas Pendidikan Ganesha.