"[Selama tahun 50-an] seorang pria dibekali dengan tenda dan diminta untuk tinggal di perbukitan selama lima hari bersama kelompoknya. Secara efektif, dia digunakan sebagai subjek uji coba untuk melihat apa yang akan terjadi," kata Moore.
"Mereka tidak pernah diberi tahu apa yang sedang terjadi, begitu juga marabahaya yang mungkin mereka hadapi," tambahnya.
Meskipun kisah-kisah manusia menjadi pusat proyek ini, Moore juga mendokumentasikan uji ilmiah laboratorium yang masih mengungkapkan kerusakan itu. Penjajaran uji lab dengan potret-potret manusia yang cacat akibat radiasi memang membuat tampilan kurang nyaman dipandang, tetapi kedekatan ini merupakan kesengajaan.
"Pernah ada sejarah manusia digunakan sebagai subjek hidup," kata Moore.
"Saya ingin mengawinkan kedua gagasan ini; bagaimana orang-orang pernah digunakan para peneliti pada masa itu dan bagaimana hal tersebut menitis ke dalam kehidupan sehari-hari—seperti apa, dan apa maknanya."
Baca Juga : Kisah Para Pengidap HIV/AIDS di Pantura Melawan Stigma Buruk Mayarakat
Beberapa subjek Moore mengalami cacat berat, sebagian besar lainnya menderita masalah kesehatan yang tak terlihat, seperti kanker, penyakit darah, atau PTSD.
Yang lebih penting, sifat tersembunyi dan berbahaya dari nuklir menjadi masalah paling utama.
"Untuk jangka waktu lama, tidak banyak perkembangan nuklir, tapi ini adalah masalah yang sangat nyata sekarang," kata Moore.
"Tapi kita tidak membicarakan apa yang diperlukan untuk memperbarui senjata ini. Orang-orang ini adalah warisan dan bukti atas apa yang telah dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut," pungkasnya.