Atasi Kekumuhan, Warga Desa Doudo Ubah Sampah Jadi Sesuatu yang Bernilai

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 17 Desember 2018 | 10:04 WIB
(Fully Syafi)

Nationalgeographic.co.id – Menurut riset terbaru dari Sustainable Waste Indonesia (SWI), sekitar 24% sampah di Indonesia masih belum bisa dikekola dengan baik. Jarang sekali yang berusaha melakukan daur ulang. Alhasil, kebanyakan dari mereka berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Warga desa Doudo, Kecamatan Panceng, Gresik, Jawa Timur, juga menyadari hal ini. Sampah-sampah yang tidak dikelola dengan baik, akhirnya menumpuk dan membuat lingkungan sekitarnya menjadi kumuh. Mereka pun akhirnya tergerak untuk membuat Bank Sampah dengan tujuan ingin memanfaatkan sampah agar menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekonomis.

Baca Juga : Kampung Sayur Hingga Aloe Vera, Uniknya Cara Warga Doudo Manfaatkan Pekarangan Rumah

Proses pengumpulan sampah di desa Doudo tidak terlalu sulit. Sebab, setiap rumah di semua RT sudah memiliki dua tempat sampah. Satu tong untuk sampah organik dan yang lainnya untuk anorganik. Sampah organik wajib ditempatkan di lubang biopori untuk kemudian dibuat sebagai pupuk. Sementara yang anorganik akan dikumpulkan oleh petugas Bank Sampah Harapan seminggu sekali.

“Kami biasanya mengelilingi desa dengan sepeda motor bak terbuka untuk mengumpulkan sampah-sampah warga,” kata Muhammad Sueb, anggota Bank Sampah Harapan.

Tabungan dan sedekah

Sueb bercerita, sebelum diangkut ke gudang, sampah-sampah yang biasanya berupa botol plastik, kardus, koran, besi dan aluminium tersebut ditimbang terlebih dahulu. Hasil timbangan kemudian dimasukkan ke buku rekening  Bank Sampah dan dikonversikan ke rupiah sebagai tabungan.

‘Nilai’ sampah ini bermacam-macam. Untuk kardus misalnya, dibandrol dengan Rp1000/kilogram. Sementara gelas plastik dihargai Rp1500/kilogram.

Saat ini, hampir semua warga Doudo sudah menjadi nasabah di Bank Sampah Harapan. Totalnya ada  220 orang—termasuk Zakiyatul Izzah.

Meski tidak rutin menyetor setiap minggu, tetapi jika ada sampah di rumahnya, Izzah pasti selalu memberikannya kepada Bank Sampah Harapan.

Warga membawa sampahnya untuk "ditabung". (Fully Syafi)

Dalam setahun, tabungannya mencapai Rp150 ribu dan akan Izzah cairkan pada Hari Raya Idulfitri. “Lumayan untuk masak sama beli baju,” ujarnya.

Sueb menambahkan, warga Doudo memang biasanya mendapat Rp150 ribu hingga Rp300 ribu dari hasil ‘menabung’ sampah. Namun, ini hanya untuk sampah rumah tangga. Bagi warga yang memiliki usaha toko kelontong, mereka bisa mendapatkan hingga Rp1,5 juta karena menyetor sampah kardus yang cukup banyak.

Saat ini, Bank Sampah Harapan sedang mengembangkan aplikasi android untuk memudahkan warga yang ingin menabung sampah. Jadi, sistemnya tidak lagi dilakukan secara manual di buku rekening. Setiap data sampah yang ditimbang akan langsung masuk ke server dan otomatis menambah nominal tabungan. Dengan begitu, nasabah juga bisa melihat jumlah tabungannya kapan pun dan di mana pun secara online melalui ponselnya.

Selain menabung, Bank Sampah Harapan binaan Pertamina EP Asset 4 Field Poleng ini juga memiliki beberapa program. Yaitu, sodaqoh dan edukasi berbayar sampah. Ini dilakukan untuk meningkatkan kegiatan sosial di desa Doudo.

Fathiyatul Masturoh, anggota Bank Sampah Harapan lainnya, menjelaskan, nasabah bisa menyedekahkan uang dari hasil setoran sampah ke pengurus untuk kemudian disalurkan ke pihak yang membutuhkan. “Terkadang mereka memberikan sampah, tapi tidak ingin menerima uangnya. Kalau begitu biasanya disedekahkan ke bank sampah,” paparnya.

Sementara untuk edukasi berbayar sampah lebih ditujukan kepada anak-anak agar mereka lebih bijak mengelola sampah. Seminggu sekali, di Balai Desa, diselenggarakan les untuk anak-anak sekolah. Nah, untuk membayar biaya les, mereka cukup membawa sampah saja untuk ditukarkan.

Wong Doudo Craft

Mengolah barang bekas menjadi barang baru. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)

Dalam pengelolaannya, Bank Sampah Harapan juga bekerja sama dengan kelompok kerajinan Wong Doudo Craft (WDC). Setelah dipilah di gudang, biasanya sampah yang dapat didaur ulang akan diambil oleh WDC untuk diubah menjadi sesuatu yang bernilai.

“Awalnya memang dari bank sampah, ya. Kami melihat kok banyak sekali sampah? Sayang kalau tidak dimanfaatkan. Akhirnya putar otak untuk membuat berbagai kerajinan dari situ,” cerita Zuli Rohmawati, Ketua WDC.

Biasanya, keempat pengurus WDC membuat celengan dari kaleng bekas, tempat tisu dari sisa-sisa koran, pot tanaman dari botol, keranjang buah dari gelas plastik, serta pajangan dari sabun yang tidak dipakai lagi.

Awalnya, mereka hanya coba-coba—belajar secara otodidak dari informasi di internet dan video Youtube. Kemudian, seiring berjalannya waktu, mereka mendapat pelatihan dan pendampingan dari Pertamina EP Asset 4 Field Poleng.

“Dari awalnya bentuk yang sederhana, kami kembangkan terus. Mencoba sesuatu yang baru secara berkala,” imbuh Zuli.

Baca Juga : Sakuntala, Sari Jamu Kunyit Nan Segar dari KEM Kolok Bengkala untuk Desa

Kelompok kerajinan  Wong Doudo Craft ini bisa membuktikan bahwa sampah ternyata bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu yang berguna. Bahkan, memiliki nilai ekonomis.

Mereka sering mendapat pesanan untuk membuat suvenir pernikahan, juga mengikuti pameran kerajinan di Jakarta dan Surabaya. Keuntungannya bisa mencapai Rp1 juta. Ini bisa meningkatkan ekonomi anggota WDC yang kebanyakan adalah ibu rumah tangga.

Kreativitas WDC juga mulai dikenal di wilayah-wilayah lain. Mereka pernah menjuarai lomba peragaan busana daur ulang tingkat Kabupaten Gresik dengan membuat pakaian dari bungkus mie instan.

Ke depannya, dengan bantuan dana dari Pertamina, desa Doudo akan segera membangung galeri di kantor Bumdes. Di sana lah, produk-produk WDC akan dipamerkan dan dijual.