Kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup Mencetak Generasi Peduli Lingkungan

By National Geographic Indonesia, Rabu, 19 Desember 2018 | 09:00 WIB
Memperkenalkan siswa dengan kurikulum baru. (Amri Rachman)

Nationalgeographic.co.id - Tidak mudah membuat masyarakat sadar untuk peduli dengan lingkungan saat ini. Jika tidak dimulai sejak dini, mungkin keinginan untuk menjaga lingkungan akan sangat minim. Maka itu, sangat penting mencetak generasi masa depan agar lebih sadar lingkungan sedini mungkin.

Dimulai dari hal kecil dengan menjaga kelestarian bakau yang ada di pesisir pantai Indonesia. Salah satunya adalah hutan bakau yang terkenal di Indramayu, Jawa Barat, yaitu Karangsong. Saat itu sudah ada kelompok yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan di sana, walau belum membawa dampak yang maksimal.

Kemudian pada tahun 2008, daerah ini sempat terkena dampak dari pecahnya floating hose milik Pertamina. Berbagai tindakan pemulihan pun dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan di sana.

Baca Juga : Atasi Kekumuhan, Warga Desa Doudo Ubah Sampah Jadi Sesuatu yang Bernilai

Tidak hanya itu, setelah proses pemulihan lingkungan berjalan, Pertamina juga memberikan berbagai pendampingan bagi masyarakat sekitar. Melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR), penampilan pesisir pantai Indramayu terlihat lebih menawan.

Bakau memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat di sekitar pesisir pantai. Oleh karena itu, kelestariannya harus terus dijaga hingga anak cucu dapat merasakan manfaatnya. Berkaca dari masa lalu, Dinas pendidikan Kabupaten Indramayu bersama para stakeholder dengan dukungan dari PERTAMINA RU VI Balongan menginisiasi adanya pembentukan kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) Tematik Mangrove.

“PLH menjadi salah satu upaya mencetak generasi peduli lingkungan yang akan menjadi pelaku dan pengawal pembangunan berkelanjutan di masa mendatang. Hal tersebut dikarenakan, pembentukan karakter yang paling efektif adalah melalui sistem pendidikan formal dan diberikan kepada anak usia sekolah dasar (SD),” kata Suherna di Kantor Dinas Pendidikan Indramayu, Senin (8/10/2018) lalu.

Suherna kemudian juga ikut terlibat dalam membentuk kurikulum pembelajaran PLH Tematik Mangrove. “Dengan adanya kurikulum ini, diharapkan dapat mencetak generasi muda agar lebih memiliki kecintaan dan komitmen melestarikan lingkungan, khususnya mangrove. Sehingga di masa depan akan terbentuk agen-agen pembangunan yang berwawasan lingkungan,” jelasnya.

Kurikulum PLH, lanjutnya, sudah masuk dalam pembelajaran sekolah dasar (SD) kelas 4-6 di 26 sekolah pesisir Indramayu. “Tahun ini, PLH Tematik Mangrove sudah masuk ke dalam sistem pendidikan dasar Kabupaten Indramayu. Sebelumnya masih berupa kegiatan ekstrakulikuler wajib,” katanya.

Belajar langsung ke lapangan. (Amri Rachman)

Adapun kurikulum yang sudah dirancang adalah terkait isi, kompetensi inti, dan kompetensi dasar. Bahkan sudah ada pula buku pembelajarannya. Semuanya sudah lengkap dan sudah disajikan kepada guru dan siswa. Saat ini, hanya sedang menunggu proses legalitas lebih lanjut.

“Gurunya juga sudah dilatih. Jika sekolah lain ada yang meminta diterapkan kurikulum mangrove dan berada di luar pesisir sekolah bisa mengajukan ke dinas pendidikan. Kurikulum ini sebenarnya memang untuk diterapkan ke seluruh SD se-Indramayu, hanya untuk pelaksanaannya bertahap. Saat ini, SK untuk kepala dinas masih terbatas, hanya untuk SD di wilayah pesisir terlebih dahulu,” jelas Suherna.

Dia menambahkan, sejauh ini pihak sekolah cukup antusias dengan adanya kurikulum PLH Tematik Mangrove. Pembelajaran untuk mencetak generasi peduli lingkungan bisa dimulai dari kelas 4 SD. Pada usia itu, siswa sudah siap menerima kurikulum PLH Tematik Mangrove. Jadi, anak tidak terbebani dengan kurikulum tersebut. Sedangkan untuk usia di bawah itu, tidak akan diberikan, karena dirasa belum siap. Terutama dari sisi mental anak.

Hasil dari dibuatnya kurikulum ini rupanya berdampak signifikan bagi lingkungan hutan bakau. Banyak hasil yang didapat. Salah satunya, para siswa rutin menanam bibit bakau. “Saat ini, bibit-bibit yang mereka tanam itu sudah besar-besar. Bisa dibayangkan, berapa pohon yang sudah mereka tanam selama ini,” katanya.

Suherna berharap, dengan adanya PLH Tematik Mangrove, anak-anak dapat memiliki sifat dan pengetahuan yang baik tentang lingkungan hidup. Punya keterampilan yang baik pula dalam upaya melestarikan hutan bakau, sehingga muncul rasa cinta dan memiliki.

Proses belajar di lapangan tidak terasa membosankan. (Amri Rachman)

Pembelajaran Tidak Monoton

Erni Heriningsih, salah satu tim Pengembang Kurikulum PLH Tematik Mangrove Dinas Pendidikan Indramayu mengatakan, kurikulum PLH Tematik Mangrove sudah dirancang sedemikian rupa, jadi per kelas sudah ada kurikulumnya masing-masing. Hal itu yang membuat interaksi di dalam kelas tidak monoton.

“Ada teori, pengayaan, dan kunjungan. Jadi kita membuat 4 kurikulum, pertama kurikulum untuk semua guru dari kelas 4 sampai kelas 6. Kedua, kurikulum panduan guru untuk masing-masing kelas. Ketiga, kurikulum teks siswa, dan keempat kurikulum LKS Siswa. Saat ini kami masih fokus untuk sekolah dasar, namun untuk ke depannya tidak menutup kemungkinan akan diterapkan juga untuk SMP dan SMU,” jelas Erni.

Menurut Erni, pada dasarnya sekolah bakau sama dengan sekolah dasar umum lainnya. Hanya saja, ada penambahan kurikulum. Kurikulum itu diberikan selama 70 menit dalam satu minggu. Dan biasanya diimplementasikan pada hari Sabtu.

Baca Juga : Kampung Sayur Hingga Aloe Vera, Uniknya Cara Warga Doudo Manfaatkan Pekarangan Rumah

“Diharapkan, tahun depan ada penambahan sekolah lagi. Dibentuknya kurikulum mangrove ini juga didukung Pertamina yang mengadakan pelatihan bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas. Perangkat kurikulum dan pembelajaran. Termasuk buku panduan guru, buku teks siswa, dan LKS siswa. Semuanya diperbanyak oleh dinas pendidikan dan didukung oleh Pertamina” ungkapnya.

Perlu diketahui, edukasi terkait bakau sudah dimulai sejak tahun 2016 di tiga sekolah. Saat itu, hanya bekerja sama dengan mahasiswa KKN dari UGM. Kemudian pada 2017, bertambah menjadi 11 sekolah. Dari sini mulai dibentuk kurikulum khusus terkait bakau, hingga akhirnya pada tahun 2018 bertambah menjadi 26 sekolah.

Penulis: Agus Wahyudi