Nationalgeographic.co.id - Manusia sudah menjelajah luar angkasa lebih dari 50 tahun. Berbagai pertanyaan mengenai keadaan di luar Bumi juga sudah mulai bisa terjawab. Namun selama manusia menjalankan misi di luar angkasa, beberapa pertanyaan terkait diri mereka (astronaut) pun mulai bermunculan. Salah satunya seputar kesehatan mereka.
Banyak astronaut yang kembali ke Bumi setelah menjalani misi panjang di luar angkasa melaporkan adanya pandangan yang kabur. Bahkan ada yang tidak kunjung membaik.
Setelah dilakukan berbagai penelitian dan proses pembelajaran, para peneliti menemukan penyebab dari hal ini. Cacat mata disebabkan oleh tumpahnya cairan di sekitar otak dan menyumbat di daerah yang tak seharusnya. Hal ini kemudian mengakibatkan pemampatan bola mata hingga merata secara permanen.
Baca Juga : Dihantam Meteorit: Inilah Kisah Nyata 'Keberuntungan' Ann Hodges
Kondisi ini disebut dengan gangguan tekanan intrakranial visual, dan menimpa hampir dua pertiga astronaut yang menghabiskan waktu lama di Stasiun Antariksa Internasional (ISS).
Keadaan ini disadari oleh NASA pada tahun 2005, ketika pengelihatan astronaut John Phillips berubah dari 20/20 menjadi 20/100 pascabertugas selama enam bulan di orbit. Pemeriksaan fisik secara menyeluruh mengungkapkan bahwa bagian belakang bola mata Phillips, entah bagaimana, menjadi datar. Perubahan ini kemudian memengaruhi saraf optik.
“Orang-orang awalnya tidak tahu apa penyebabnya, dan pada tahun 2010, muncul kekhawatiran karena beberapa astronaut mengalami perubahan struktural parah yang tak bisa kembali seperti semula,” ungkap Noam Alperin, penulis utama studi.
Fisikawan NASA mengetahui bahwa ada sesuatu yang dapat meningkatkan tekanan pada mata astronaut, tetapi mereka tidak bisa menemukan penyebab utamanya. Teori yang berkembang adalah, kondisi tersebut—entah bagaimana—terhubung ke redistribusi cairan vaskular (darah dan getah bening) pada gravitasi mikro.
Masih menurut NASA, hampir 68 ons cairan berpindah dari kaki astronaut menuju kepala mereka selama di luar angkasa. Para ilmuwan menduga bahwa cairan inilah yang kemudian menyebabkan tekanan pada otak, dan memengaruhi mata.
Peneliti kemudian mengukur tanda-tanda vital dari empat orang yang terbang di dalam kapal Vomit Comet—pesawat yang naik turun dengan cepat untuk menyimulasikan keadaan gravitasi nol selama 25 detik. Para ilmuwan terkejut ketika menemukan bahwa tekanan intrakranial benar-benar turun selama periode gravitasi nol.
Cairan otak
Alperin, seorang profesor radiologi dan teknis miomedis di Univeristy of Miami mengatakan bahwa peningkatan aliran cairan caskular ke kepala bukanlah hal yang menyebabkan masalah. Permasalahan utama adalah pada cairan serebrospinal (CSF), cairan yang meredam otak dari perubahan tekanan ketika tubuh kita menggeser posisi, seperti berdiri atau berbaring.
Perjalanan di luar angkasa mengacaukan sistem saluran yang telah "disetel" dengan baik karena kurangnya perubahan tekanan terkait postur ketika tinggal di lingkungan dengan gravitasi mikro.
Baca Juga : Tubuh Pendaki yang Hilang di Himalaya Ditemukan Setelah 30 Tahun
Alperin dan tim kemudian melakukan pemindaian MRI beresolusi tinggi kepada tujuh astronaut sebelum dan setelah misi antariksa yang lama. Mereka kemudian membandingkan hasil tersebut dengan hasil pemindaian sembilan astronaut yang terbang ke luar angkasa dalam waktu singkat.
Para peneliti menemukan bahwa tujuh astronaut yang menghabiskan waktu beberapa bulan di orbit memiliki volume CSF yang lebih tinggi dalam rongga tengkorak di sekitar mata. Hal ini lah yang meningkatkan tekanan di bagian belakang bola mata astronaut, menyebakan pendataran dan mengarah pada peningkatan penonjolan saraf optik.
Studi ini juga menjelaskan keadaan di Vomit Comet sebelumnya. Meskipun volume cairan meningkat di daerah tertentu, tetapi ukuran otak tidak membengkak, sehingga menyebabkan tekanan intrakranial.
Meskipun penyebab cacat mata ini berhasil terungkap, tetapi langkah penanggulangan dan pengobatannya belum ditemukan yang sesuai. Untuk saat ini, cacat bola mata merupakan salah satu penyakit yang hanya bisa diatasi oleh para insinyur gravitasi buatan.