Nationalgeographic.co.id - Pada 26 Desember 2004, pukul 08.58 WIB, gelombang tsunami yang dahsyat menghantam Aceh dan beberapa wilayah di Samudra Hindia. Empat belas tahun berlalu, bencana alam yang amat mematikan ini, masih memberikan luka tersendiri bagi para korban.
Dilansir dari Kompas.com, tsunami aceh terjadi karena adanya interaksi antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Sebelumnya, gempa besar dengan magnitudo 9,0 terjadi–berpusat di dasar laut pada kedalaman 10 kilometer. Gempa terjadi sekitar 8-10 menit.
Setelah gempa yang panjang dan memiliki magnitudo besar, gelombang pasang menyerbu pantai didahului surutnya air laut. Kemudian, diikuti oleh gelombang yang sangat besar.
Baca Juga : Mengapa Erupsi Anak Krakatau Berpotensi Timbulkan Tsunami di Selat Sunda?
Gelombang tsunami menerjang daratan dan masuk ke dalam kota. Diperkirakan gelombang tsunami yang menghantam pesisir Aceh setinggi 30 meter. Kecepatannya mencapai 100 meter per detik atau 360 kilometer per jam.
Bentuk geologi pantai di Aceh tergolong rumit. Di daerah itu teluk yang berasosiasi dengan tanjung telah menyebabkan konsentrasi energi gelombang di sekitar tanjung.
Tsunami yang tergolong jenis far field ini memiliki perambatan hingga 1.000 km lebih. Tsunami yang muncul akibat gempa pertama di Aceh penjalarannya ke utara dan barat laut hingga ke Sri Lanka dan Maladewa, masing-masing sekitar dua dan tiga jam setelah gempa Aceh.
Sementara ke arah selatan, tsunami menerjang Pulau Simeulue, setengah jam kemudian.
Adapun gelombang pasang sampai ke Pulau Nias satu jam, lalu ke Kepulauan Mentawai satu setengah jam sesudah gempa.
Baca Juga : BNPB: Letusan Gunung Anak Krakatau Tidak Akan Separah Tahun 1883
Diperkirakan, ada 230 ribu orang yang tewas dari 14 negara, termasuk Thailand, India Selatan, Sri Lanka, dan sebagian Afrika. Aceh sendiri menjadi yang terparah, dengan jumlah korban mencapai 170 ribu.
Tak hanya itu, jutaan rumah hancur akibat gempa dan tsunami Aceh. Listrik seketika padam karena dampak yang ditimbulkan. Ratusan penduduk pun harus kehilangan tempat tinggalnya.
Menurut BBC News, selain penduduk setempat, 9.000 turis asing (kebanyakan orang Eropa) yang sedang menikmati musim liburan puncak termasuk di antara korban tewas atau hilang. Negara Eropa yang memiliki paling banyak korban tewas adalah Swedia, dengan jumlah 543 orang.