Nationalgeographic.co.id - Gelombang tsunami menghantam wilayah di sekitar Selat Sunda pada Sabtu (22/12) lalu. Menewaskan lebih dari 400 orang dan menciptakan kerusakan yang cukup parah di lima kabupaten, yaitu Serang, Pandeglang, Lampung Selatan, Pesawaran, dan Tanggamus.
Longsoran erupsi Gunung Anak Krakatau diduga menjadi penyebab tsunami. Hal ini pun menimbulkan kekhawatiran warga. Sebab, ada kemungkinan tsunami bisa terjadi lagi jika gunung berapi tersebut semakin aktif.
Baca Juga : Tsunami di Banten dan Lampung, BMKG: Bukan Karena Gempa Bumi
Kendati demikian, dilansir dari Kompas.com, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan, Gunung Anak Krakatau tidak akan meletus separah ibunya seperti di tahun 1883.
Alasannya, saat itu, ada tiga gunung di Selat Sunda yang meletus secara bersamaan–yaitu Gunung Rakata, Gunung Danan, dan Gunung Perbuwatan–sehingga dampaknya sangat kuat. Dentuman terdengar hingga ke Pulau Rodriguez, kepulauan di Samudra Hindia. Tsunami setinggi 30 meter menerjang pesisir di sekitarnya dan menewaskan sekitar 36 ribu orang.
Setelah letusan, ketiga gunung menjadi habis. Selanjutnya, akibat proses alam, muncul Gunung Anak Krakatau dari bawah permukaan laut.
Sutopo menambahkan, Anak Krakatau yang terbentuk pada 1927 itu pun tidak memiliki dapur magma sebesar pendahulunya.
"Banyak para ahli mengatakan, untuk terjadi letusan yang besar masih diperlukan sekitar 500 tahun lagi ke depan," kata Sutopo di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Selasa (25/12/2018).
Baca Juga : Fakta-fakta Tersembunyi Gelombang Tsunami yang Harus Anda Ketahui
Saat ini, status Gunung Anak Krakatau pun masih berada di level dua atau waspada. Ini sesuai dengan yang ditetapkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Gunung tersebut termasuk ke dalam tipe strombolian sehingga secara terus menerus melontarkan lava pijar dan abu vulkanik.
"Jadi jangan percaya jika banyak kabar yang mengatakan bahwa status Gunung Anak Krakatau dinaikan menjadi siaga. Statusnya masih waspada dan erupsi Gunung Anak Krakatau sebenarnya selalu berlangsung sejak Juni 2018 sampai hari ini," tambah Sutopo.
PVMBG telah menetapkan, sepanjang 2 kilometer dari puncak kawah sebagai zona berbahaya. Tidak boleh ada aktivitas manusia sama sekali di sana.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR