Nationalgeographic.co.id—Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang berjalan menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi TNI.
Pasalnya, revisi ini akan memperluas jabatan di kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI. Banyak pihak memaknai hal ini sebagai tanda kebangkitan dwifungsi TNI. Lantas, apa sebenarnya dwifungsi TNI itu?
Latar Belakang Munculnya Dwifungsi ABRI
Konsep "Jalan Tengah" yang menjadi cikal bakal Dwifungsi ABRI diperkenalkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat, AH Nasution, pada November 1958. Dalam pidatonya di dies natalis AMN (Akademi Militer Nasional) di Magelang, ia menyampaikan gagasan bahwa militer sebagai kekuatan politik berhak berperan dalam pemerintahan berdasarkan asas kekeluargaan.
Pemikiran ini muncul karena kegagalan politisi sipil dalam merumuskan kebijakan dan adanya rasa saling curiga antara tentara dan politikus yang menyebabkan ketidakstabilan politik.
Nasution menekankan bahwa TNI, khususnya Angkatan Darat, tidak akan memerintah sebagai pemerintahan militer, tetapi juga tidak akan menjadi alat pasif bagi politikus. Tujuannya adalah agar militer terlibat dalam membina negara dan menjaga stabilitas, bukan merebut kekuasaan.
Konsep ini berlanjut dengan Dekret Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959, yang memberikan landasan konstitusional bagi peran politik ABRI sebagai golongan fungsional dan kekuatan sosial politik. Pada 1962, ABRI membentuk koramil di setiap kecamatan, babinsa di setiap desa, dan resimen mahasiswa di kampus.
Konsep ini dimatangkan melalui doktrin Tri-Ubaya Cakti, hasil Seminar Angkatan Darat I (1965) dan II (1966) di Bandung. Fungsi sosial dan politik ABRI kemudian ditetapkan melalui TAP MPRS No. XXIV/MPRS/1966 pada 5 Juli 1966.
Dwifungsi ABRI di Era Orde Baru
Implementasi konsep "Jalan Tengah" oleh Soeharto di era Orde Baru jauh melampaui gagasan AH Nasution. Dwifungsi ABRI diartikan sebagai peran ganda tentara, yaitu sebagai alat pertahanan dan kekuatan politik praktis.
Tujuan awalnya adalah agar politisi sipil dan militer terlibat bersama dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan politik demi stabilitas negara. Namun, Presiden Soeharto memanfaatkan Dwifungsi ABRI untuk mempertahankan kekuasaannya selama tiga dekade.
Baca Juga: Dwifungsi ABRI: Konsep Soekarno yang Berjalan di Luar Perkiraan
KOMENTAR