Nationalgeographic.co.id—Tahukah Anda bahwa ada kesamaan antara Janissari, korps militer Kekaisaran Ottoman, dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) semasa pmerintahan Soeharto?
Tentara Ottoman seperti semua tentara muslim lainnya, berperang untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia dan memperluas wilayah kekuasaan.
Semangat keagamaan ini membuat tentara Ottoman begitu efektif dan kuat dalam pertempuran. Diyakini bahwa mereka yang gugur di medan perang akan diganjar dengan masuk surga.
Dalam Islam and the Arts of the Ottoman Empire yang diterbitkan oleh Asian Art Museum Education Department mencatat bahwa tentara Ottoman awalnya adalah kelompok-kelompok ksatria penunggang kuda. Seiring dengan cepatnya ekspansi Kekaisaran Ottoman, korps militer ini segera tumbuh lebih banyak dan terorganisir.
Kelompok militer ini menggunakan devshirme, yakni sistem perekrutan yang digunakan oleh Ottoman untuk mengambil anak laki-laki dari keluarga Kristen di wilayah-wilayah taklukan, terutama di Balkan, untuk dilatih menjadi anggota militer dan birokrasi Ottoman.
Selain itu, sekelompok pasukan elit bernama Janissari juga ditambahkan ke dalam kekuatan tempur Ottoman. Jumlah pasukan ini meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa pemerintahan Suleyman the Magnificent.
Tentara Ottoman merupakan salah satu korps militer pertama yang menggunakan artileri dan senapan. Meskipun inti pasukan tempurnya terdiri dari ksatria berkuda, tentara juga mencakup sejumlah kecil prajurit infanteri, ahli artileri, dan insinyur militer.
Sebagian besar mencatat, tentara Ottoman melakukan pertempuran sambil menunggangi kuda. Sebanyak 100.000 kuda digunakan dalam kampanye militer pada akhir tahun 1500-an.
Selama pertempuran, kavaleri biasanya menunggu di pinggir sampai garis musuh melemah dan kemudian menyerang. Band militer yang berada di belakang terus membuat suara berisik dengan seruling, drum, dan terompet.
Pengamat Barat mencatat bahwa tentara Ottoman lebih mengandalkan jumlah, keberanian, dan semangat keagamaan pasukan daripada strategi dan organisasi militer. Sebaliknya, pasukan Ottoman mengamati bahwa tentara Eropa terlalu disiplin dan berperilaku seperti robot.
Pada periode Ottoman awal, pasukan dipimpin ke medan perang oleh sultan sendiri, pemimpin utama rakyatnya. Tetapi di kemudian hari, sultan tetap tinggal di istananya dan hanya mengirim komandan militernya ke lapangan.
Baca Juga: Rahasia Tarekat Sufi 'Backingan' Janissari, Korps Militer Terkuat Ottoman
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR