Nationalgeographic.co.id - Bagaimana cara kita mengunyah makanan memang akan menentukan suara yang dihasilkan. Membuka dan menutup mulut saat mengunyah pun juga menghasilkan suara yang berbeda. Tidak semua peduli terhadap hal tersebut.
Lantas bagaimana bila seseorang merasa kesal bila mendengar suara yang dihasilkan saat seseorang tengah mengunyah makanan? Bisa saja ia mengalami Misophonia, kecenderungan seseorang terganggun oleh suara-suara yang ada di sekitarnya.
Misophonia bukanlah penyakit, melainkan sebuah kondisi yang belum benar-benar dimengerti oleh ilmuwan. Bahkan tidak semua orang memiliki kecenderungan ini.
Baca Juga : Asteroid Seperti Kudanil Ini Memiliki Risiko Tabrakan dengan Bumi
Nama misophonia sebenarnya sudah diperkenalkan secara umum pada tahun 2000. Namun hingga saat ini, baru ada sedikit studi ilmiah untuk mempelajarinya. Tercatat, hingga tahun 2013—13 tahun setelah diperkenalkan—hanya ada dua studi kasus yang dipublikasikan.
Fakta di atas seakan menunjukkan bahwa kasus misophonia belum menjadi topik yang menarik bagi para peneliti. Selain itu, bisa saja bahwa orang yang mengalaminya tidak benar-benar menganggap kondisi tersebut. Apakah benar seperti itu?
Olana Tansley-Hancock, seorang yang mengidap misophonia sejak berusia tujuh tahun mengatakan bahwa ia terganggu dengan dirinya yang mudah terganggu oleh suara orang yang tengah mengunyah makanan.
Beranjak dewasa, dirinya lebih sering memilih untuk menghabiskan makanannya dalam kesendirian untuk menghindari "suara kunyahan" teman-temannya.
Seiring berjalannya waktu, kian banyak suara lain yang memicu kondisi misophonia-nya. Suara lembaran kertas atau bahkan suara langkah kaki memaksanya untuk mengisolasi dirinya sendiri. Suara ketukan keyboard di kantornya pun kerap menjadi alasan baginya untuk izin keluar ruangan.
"Akhirnya saya pergi ke dokter. Tetapi malah ditertawakan," katanya dikutip dari New Scientist pada Rabu (2/1/2018).
Baca Juga : Resolusi Tahun Baru Sering Gagal? Mungkin Karena Kurang Tidur
"Penderita misophonia kerap kali harus membuat berbagai penyesuaian terhadap hidup mereka, tujuannya adalah agar mereka 'tetap bisa hidup'," kata Miren Edelstein dari University of California, San Diego. Rekan Edelstein, V. S. Ramachandran, menambahkan bahwa hal yang sulit dipahami ini bisa melumpuhkan penderitanya.