Terganggu Suara Kunyahan Makanan? Anda Mungkin Mengalami Gangguan Ini

By Gregorius Bhisma Adinaya, Rabu, 2 Januari 2019 | 14:32 WIB
Ketika mengunyah makanan, tentu kita akan menghasilkan suara. (Happycity21/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Bagaimana cara kita mengunyah makanan memang akan menentukan suara yang dihasilkan. Membuka dan menutup mulut saat mengunyah pun juga menghasilkan suara yang berbeda. Tidak semua peduli terhadap hal tersebut.

Lantas bagaimana bila seseorang merasa kesal bila mendengar suara yang dihasilkan saat seseorang tengah mengunyah makanan? Bisa saja ia mengalami Misophonia, kecenderungan seseorang terganggun oleh suara-suara yang ada di sekitarnya.

Misophonia bukanlah penyakit, melainkan sebuah kondisi yang belum benar-benar dimengerti oleh ilmuwan. Bahkan tidak semua orang memiliki kecenderungan ini.

Baca Juga : Asteroid Seperti Kudanil Ini Memiliki Risiko Tabrakan dengan Bumi

Nama misophonia sebenarnya sudah diperkenalkan secara umum pada tahun 2000. Namun hingga saat ini, baru ada sedikit studi ilmiah untuk mempelajarinya. Tercatat, hingga tahun 2013—13 tahun setelah diperkenalkan—hanya ada dua studi kasus yang dipublikasikan.

Fakta di atas seakan menunjukkan bahwa kasus misophonia belum menjadi topik yang menarik bagi para peneliti. Selain itu, bisa saja bahwa orang yang mengalaminya tidak benar-benar menganggap kondisi tersebut. Apakah benar seperti itu?

Olana Tansley-Hancock, seorang yang mengidap misophonia sejak berusia tujuh tahun mengatakan bahwa ia terganggu dengan dirinya yang mudah terganggu oleh suara orang yang tengah mengunyah makanan.

Beranjak dewasa, dirinya lebih sering memilih untuk menghabiskan makanannya dalam kesendirian untuk menghindari "suara kunyahan" teman-temannya.

Seiring berjalannya waktu, kian banyak suara lain yang memicu kondisi misophonia-nya. Suara lembaran kertas atau bahkan suara langkah kaki memaksanya untuk mengisolasi dirinya sendiri. Suara ketukan keyboard di kantornya pun kerap menjadi alasan baginya untuk izin keluar ruangan.

"Akhirnya saya pergi ke dokter. Tetapi malah ditertawakan," katanya dikutip dari New Scientist pada Rabu (2/1/2018).

Baca Juga : Resolusi Tahun Baru Sering Gagal? Mungkin Karena Kurang Tidur

"Penderita misophonia kerap kali harus membuat berbagai penyesuaian terhadap hidup mereka, tujuannya adalah agar mereka 'tetap bisa hidup'," kata Miren Edelstein dari University of California, San Diego. Rekan Edelstein, V. S. Ramachandran, menambahkan bahwa hal yang sulit dipahami ini bisa melumpuhkan penderitanya.

Penelitian-penelitian terkini, termasuk yang dilakukan oleh Edelstein dan Ramachandran, membuktikan bahwa misophonia bukanlah gejala dari gangguan lain seperti obsessive compulsive disorder (OCD). Ia juga bukan persoalan terlalu sensitif pada perilaku atau kebiasaan buruk orang lain.

Peneliti lain, Sukhbinder Kumar, menunjukkan bahwa misophonia merupakan permasalahan yang terkait dengan saraf. Kumar dan tim melakukan serangkaian uji coba terhadap 20 orang sukarelawan yang menderita misophonia parah, dan 22 orang yang tidak memiliki gangguan ini.

Kedua kelompok penelitian kemudian diperdengarkan dengan tiga jenis suara: suara netral seperti suara hujan, suara yang mengganggu seperti tangisan bayi, dan suara yang menjadi pemicu bagi misophonia seperti orang mengunyah atau suara napas.

Hasilnya, kedua grup memberikan respons yang sama untuk suara hujan dan suara tangisan bayi. Akan tetapi, grup misophonia mengalami kenaikan detak jantung dan sensasi tersetrum pada kulit mereka. Dari hasil pindai otak, penderita misophonia mengalami peningkatan aktivitas di anterior insular cortex (AIC), area yang berperan penting dalam sistem yang menentukan hal apa yang harus menjadi perhatian.

Baca Juga : Ingin Resolusi Tercapai? Ini Langkah-langkah yang Bisa Dilakukan

Saat suara pencetus diperdengarkan, bukan hanya terjadi peningkatan aktivitas di bagian ini, tetapi juga muncul konektivitas dalam level yang tidak normal ke bagian-bagian otak lain. "AIC terhubung ke struktur lain yang berperan dalam mengatur emosi dan memori," Kumar menjelaskan.

Temuan ini menunjukkan bahwa pada penderita misophonia, sistem yang memengaruhi apa yang harus kita perhatikan—dan bagaimana meresponsnya secara emosional—mengalami gangguan. Artinya, para peneliti berharap, hasil penelitian ini bisa membantu menangani para penderita misophonia seperti Tansley-Hancock (yang juga seorang ilmuwan saraf, dan bekerja sama dengan Kumar dalam penelitian ini).

Untuk sementara, Tansley-Hancock mencoba mengatasi masalahnya dengan menyingkronkan kunyahannya sendiri dengan kunyahan orang lain saat sedang makan.