Nationalgeographic.co.id - Cuaca sedang tidak menentu, langit yang sebelumnya cerah dapat dalam waktu singkat berubah menjadi gelap karena tertutup awan. Gemuruh petir pun seringkali melengkapinya. Bila hal ini sudah terjadi, biasanya kita akan dengan segera menghindari area terbuka atau benda-benda yang dipercaya bisa tersambar petir.
Emeritus Professor of Mathematics di Imperial College, Inggris, Professor David Hand berpendapat bahwa kemungkinan seseorang untuk tersambar petir adalah satu berbanding 300.000. Artinya, kemungkinan kita akan tersambar adalah cukup kecil.
Walaupun kemungkinan tersebut kecil, tetapi bila dibandingkan dengan populasi manusia, sambaran petir telah "menyumbangkan" kematian sebanyak 4.000 jiwa setiap tahunnya. Jumlah yang banyak? Itu saja sudah dikurangi dengan 90 persen korban sambaran petir yang selamat.
Baca Juga : Tahun 2050, Suhu Berbagai Kota di Dunia Meningkat 2 Derajat Celcius
Sebuah pertanyaan besar dalam konteks ini adalah mengapa sambaran petir dapat berakibat fatal? Banyak orang bahkan membandingkannya dengan jumlah listrik yang mengalir—dalam waktu yang sangat cepat—ketika tubuh tersambar.
Dilansir dari CNN pada Kamis (3/1/2019), Mary Ann Cooper, seorang pensiunan dokter gawat darurat yang juga seorang peneliti petir, mengatakan bahwa mayoritas listrik dari sambaran petir mengalir di luar tubuh dalam efek flashover.
Sederhananya adalah seperti ini; ketika tubuh Anda basah oleh hujan atau keringat dan petir menyambar, maka air ini akan dengan seketika berubah menjadi uap. "Jumlah kecil pun bisa menyebabkan ledakan uap. Reaksi ini benar-benar meledakkan baju Anda,” ucapnya.
Cooper yang pernah melakukan studi mengenai luka akibat sambaran petir, mengungkapkan bahwa kehilangan kesadaran adalah efek yang paling sering terjadi dalam laporan 66 dokter yang menjadi data penelitiannya. Tidak hanya itu, sepertiga korban sambaran petir juga mengalami kelumpuhan sementara pada lengan dan kaki.
Selain dampak di atas, jantung juga akan terhenti akibat aliran listrik dalam petir. Chris Andrews, dokter dan peneliti petir di University of Queensland Australia mengatakan bahwa dalam kejadian ini untungnya jantung memiliki mekanisme menyetel ulang dirinya sendiri.
Baca Juga : Aplikasi Kesehatan untuk Kendalikan Penyakit tak Menular, Efektif?
Meski begitu, sambaran petir juga memiliki satu dampak yang paling mematikan, yakni matinya area otak yang berfungsi sebagai pengendali pernapasan. Andrews mengatakan bahwa bagian tubuh ini tidak bisa menyetel ulang dirinya sendiri. Ketika napas terhenti, pasokan oksigen pun akan mengalami penurunan dalam waktu singkat dan membuat jantung kembali terserang.
“Jika seseorang yang masih hidup bilang bahwa dia pernah tersambar petir, kemungkinan besar alat pernapasan mereka tidak mati sepenuhnya,” ucap Andrews.
Ketika seseorang dapat bertahan setelah tersambar petir, hal ini bukan berarti bahwa ia dalam kondisi yang baik-baik saja. 90 persen korban selamat mengalami berbagai efek jangka panjang, seperti serangan jantung, kebingunan, kejang, tuli, sakit kepala yang berkepanjangan, kehilangan ingatan, hingga adanya perubahan dalam kepribadian.
Mary Ann Cooper menganalogikannya dengan komputer yang terganggu sengatan listrik. “Walaupun luarnya tampak baik-baik saja, tetapi software yang mengontrol fungsinya telah rusak,” katanya.