Nationalgeographic.co.id - Masyarakat Bali dan Indonesia kembali tersita perhatiannya dengan beberapa peristiwa terkait letusan gunung berapi, salah satunya adalah Gunung Agung. Gunung yang terletak di wilayah Karangasem, Bali ini meletus pada hari Kamis (10/1/2019) lalu.
Hasil perekaman Pos Pemantauan Gunung Api Agung yang terletak di Desa Rendang menunjukkan bahwa seismograf mencatat amplitudo hingga 22 mm dengan durasi sekitar empat menit. Masyarakat pun diimbau untuk tidak berada dalam radius empat kilometer.
Baca Juga : Mengapa Gunung Anak Krakatau Masih Berbahaya? Ini Penjelasan Peneliti
Berbeda dengan masyarakat Bali—dan mungkin masyarakat Indonesia—yang tengah was-was, para peneliti NASA justru merasakan hal yang bertolak belakang.
Para peneliti NASA mengatakan bahwa letusan Gunung Agung berpotensi menjadi penyelamat dunia dalam permasalahan perubahan iklim.
Dengan meneliti peristiwa alam ini, NASA berharap dapat menemukan banyak gambaran terhadap bagaimana bahan kimia yang dilepaskan ke atmosfer dapat digunakan untuk melawan perubahan iklim.
Setelah Gunung Agung bangun dari tidur dan kemudian meletus pada akhir November tahun lalu, secara konsisten gunung itu menyemburkan uap dan gas ke atmosfer.
Walaupun beberapa gunung berapi pernah mengalami letusan yang lebih besar dan menyebabkan "musim dingin vulkanik", namun Gunung Agung memiliki keunikan yang membuat para peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut.
Sekadar info, Gunung Tambora pada tahun 1815 meletus dan menyebabkan musim dingin sepanjang tahun. Bahkan Albany, New York mengalami musim salju selama setahun. Kelaparan pun terjadi di banyak tempat akibat adanya kerusakan tanaman pangan.
Baca Juga : Mengenal Planet Bola Mata yang Memiliki Sisi Panas dan Dingin Ekstrem
Letusan ini kemudian tercatat sebagai letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah.
Bagi para peneliti, Gunung Agung bisa menjadi kesempatan mereka untuk mengetahui bagaimana gunung berapi mampu memengaruhi iklim seperti Gunung Tambora.