Janda dan Kehidupan Sosial di Batavia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 18 Januari 2019 | 16:37 WIB
Lukisan cat minyak karya Andries Beeckman yang menggambarkan Kastel Batavia sekitar 1656. (Tropenmuseum/Wikimedia)

"Pada masa itu, ada anggapan bahwa perempuan yang telah menikah berkali-kali—dua hingga empat kali—bukan sesuatu yang fantastis."

“Mereka memanfaatkan kemauan baik dari suami mereka sehingga menyalahgunakan karunia yang diterimanya.”

Maria pun bergaya hidup mewah dan bagian dari masyarakat perempuan sosialita Batavia. Dia mendapat kesempatan menikmati wisma gubernur jenderal tinggalan suaminya dan diizinkan pulang ke Belanda dengan membawa semua peralatan rumah tangganya dalam jumlah yang besar.

“Mereka memanfaatkan kemauan baik dari suami mereka sehingga menyalahgunakan karunia yang diterimanya,” ungkap Jean Baptiste Tavernier, seorang pedagang batu permata dan pelancong asal Prancis yang singgah di Batavia pada abad ke-17. Mereka “mendorong suami-suami melakukan kejahatan besar dengan berkedok nama baik suami mereka.”

Sejumlah sejarawan memberikan berbagai label tentang perempuan Batavia. Ada yang menyebut mereka adalah perempuan bodoh dan pemalas, unsur kemegahan kota, hingga bagian dari peradaban indis di Hindia Belanda.

Baca Juga : Tanpa Sengaja, Ditemukan Tabel Periodik Kimia Tertua Berusia 140 Tahun

Apakah janda-janda muda di Batavia mudah begitu saja dipinang?

Belakangan berkas surat Lennep mengisahkan, tampaknya sang janda menyadari akal bulusnya sehingga perempuan itu menepis lamarannya. Dan, lelaki itu harus rela melanjutkan hidup dengan segunung utangnya.

“Sesungguhnya saya bermaksud berkorban untuk mencapai tujuan tersebut,” ungkap Lennep. “Namun, jahat kiranya untuk mengorbankan sesama manusia, dan terlebih jahat lagi menipu atau menghancurkan seorang perempuan yang sudah bersedia membagi nasib gemilangnya itu dengan diri saya.”   

(Mahandis Yoanata Thamrin. Sumber:Leonard Blusse, Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and Dutch in VOC Batavia; Jean Gelman Taylor, The Social World of Batavia: Europeans and Eurasians in Colonial Indonesia)