Tampaknya semesta telah menelikungnya. Dia ditakdirkan memang harus hidup di Batavia. Dia ditakdirkan menyintas suatu kehidupan yang tidak nyaman.
“Tapi, nasibnya...,” ujar Hasan. “Jepang masuk pada awal 1942.” Sejak saat itu komunikasi Jawa dan Sumatra putus. Perkara surat-menyurat hingga urusan kiriman uang pun ikut pupus. Seluruh pelajar Sumatra yang berada di Jawa dipulangkan oleh Jepang dengan angkutan dua kapal besar. Asrul Sani dan Sitor Situmorang, kelak keduanya sohor sebagai sastrawan, turut pulang. Namun, Chairil tidak pulang.
“Kenapa Chairil tidak pulang?” Hasan melontarkan pertanyaan retorika. Lalu, dia melanjutkan berkata, “Sepertinya itu naluri, ya.”
Tampaknya semesta telah menelikungnya. Dia ditakdirkan memang harus hidup di Batavia. Dia ditakdirkan menyintas suatu kehidupan yang tidak nyaman. Dia ditakdirkan menerima risiko bahwa tidak ada lagi uang kiriman dari ayahnya. Dan, dia juga ditakdirkan tak berumur panjang. Lengkaplah segala penderitaan Chairil.
“Chairil sejatinya seorang yang perlente,” ungkap Hasan. Bukan seorang yang berkepribadian kuyu dan kusut. Pada akhirnya, dia terpaksa kuyu dan kusut lantaran sang ayah tidak bisa mengirimkan uang kepadanya. “Akhirnya dia menjadi bohemian,” imbuhnya. “Mencuri sepeda, jaket, sprei, ditangkap kempetai, dipukulin, dimasukin penjara, lalu ke luar lagi—tetap saja begitu.”
Lalu, apa yang pertama kali dilakukan pemuda itu setibanya di Batavia, jelang Hindia Belanda tamat?
“Bikin jas!”