Tari Gandrung Banyuwangi, Identitas Budaya dan Daya Tarik Pariwisata Dunia

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 26 Januari 2019 | 12:00 WIB
Penari Gandrung usai tampil pada acara Gandrung Sewu di Banyuwangi Tahun 2018. (Petrus Riski/VOA Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Pertunjukan seni tradisional Banyuwangi, yaitu tari Gandrung, telah menjadi salah satu ikon Banyuwangi untuk menarik minat pengunjung, khususnya dari manca negara. Pertunjukan tari Gandrung memiliki kisah sejarah yang menggambarkan perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam melawan penjajahan kolonial, sebelum tahun 1.800.

Chosih Sudarminasih, Pelatih Sanggar Tari Mlati Rinonce menurutkan, tari Gandrung Banyuwangi awalnya ditarikan oleh kaum lelaki, yang dipelopori oleh pria bernama Marsan, sebagai upaya lain untuk melawan penjajahan.

“Waktu Banyuwangi dijajah, nah Marsan itu berjuang dengan mengecoh penjajah, dengan dia menari, terus sebenanrnya dia juga menuangkan minuman biar (penjajah) mabuk terus dibunuh. Makanya kan pas waktu tari Gandrung itu kan ada simbol bendera, bajunya. Karena asalnya dari (penari) laki-laki, dengan berkembangnya zaman karena kemerdekaan, akhirnya tidak hanya laki-laki yang menarikannya, sekarang (tarian) khas perempuan,” tuturnya.

Baca Juga : Jew, Jati Diri Masyarakat Asmat yang Sesungguhnya

Tari Gandrung yang awalnya hanya ada saat hajatan atau sengaja dihadirkan dengan bayaran, kini semakin berkembang dan banyak diminati. Chosih Sudarminasih menambahkan, tidak hanya intensitas pertunjukan yang hampir selalu menampilkan tari Gandrung, tarian khas Banyuwangi ini juga semakin naik pamornya setelah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menggelar pertunjukan akbar Gandrung Sewu pada tahun 2011 hingga kini.

“Dulu menari Gandrung itu hanya di gandrung terop, tanggapan-tanggapan (pertunjukkan dibayar) itu, tetapi setelah ada Gandrung Sewu, mulai lagi Gandrung itu benar-benar diminati dan luar biasa antusiasnya, lebih-lebih untuk saya daerah Purwoharjo, kalau di Purwoharjo ini luar biasa untuk penari Gandrung karena apa, mereka itu berlomba-lomba kepingin ikut tampil dalam acara Gandrung Sewu. Saat mereka tampil di Gandrung Sewu, itu suatu kebanggaan,” imbuh Chosih.

Para penari dari sanggar tari Qiao Guang Surabaya sedang berlatih tari Gandrung. (Petrus Riski/VOA Indonesia)

Tari Gandrung awalnya merupakan identitas masyarakat Banyuwangi yang menggambarkan rasa syukur pada musim panen, tetapi kini meluas. Apalagi setelah digelarnya tarian massal yang telah menjadikan Gandrung Sewu acara rutin.

Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas mengungkapkan, melalui pertunjukan tari Gandrung ini, masyarakat khususnya anak-anak Banyuwangi dapat semakin mengenal dan mencintai budaya dan tradisi yang tumbuh dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Pengenalan dan upaya menanamkan kecintaan anak-anak pada tari Gandrung, diwujudkan melalui kegiatan ekstrakurikuler tari Gandrung di seluruh sekolah dasar di Banyuwangi.

“Jadi sebetulnya tari Gandrung bukan hanya soal untuk mengenalkan Banyuwangi, sebenarnya ini instrumen bahwa setiap daerah punya tari khas dalam rangka mengkonsolidasi agar anak-anak kita tahu tradisi yang kuat dan tumbuh dari rakyatnya. Nah, Gandrung kebetulan salah satu tari yang cukup menjadi ikon di Banyuwangi, maka ini anak-anak menjadi kegiatan ekstra (sekolah) dan sekarang sudah menjadi kegiatan yang masif, dari sini kemudian menghasilkan banyak penghargaan. Anak-anak diundang di Frankfrut, di Paris, dan bahkan sudah diakui oleh dunia, salah satunya karena cara yang kita kerjakan misalnya bikin Gandrung Sewu, itu sebagai cara, ada seribu penari Gandrung,” kata Azwar Anas.

Chosih Sudarminasih mengaku bersyukur atas terpeliharanya identitas budaya Banyuwangi. Kini sanggar-sanggar tari yang mengajarkan tari Gandrung, dan minat anak-anak untuk belajar seni tari juga semakin meningkat. Chosih bertekad memiliki panggung pertunjukan sendiri, untuk mewadahi kreatifitas anak-anak di bidang seni tari ini.

“Saya kepingin mempunyai panggung terbuka, saya pingin nmenampung dari beberapa pemuda-pemudi atau siapapun untuk saya tampilkan, mungkin setiap malam minggu dan lain sebagainya, tetapi ya itu tadi, kendalanya karena memang belum ada anggaran sehingga saya hanya bermimpi. Saya pingin di sini, di belakang ini saya buat, saya sulap seperti panggung terbuka, terus saya buat seindah mungkin, even rutin untuk menampung anak-anak yang berkreasi dan punya kreativitas,” ujar Chosih.