Dari Editor: Hikayat Pelantar Tanjungpinang

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 31 Januari 2019 | 09:54 WIB
Pekong Akar, tilas rumah Kapitan Cina Tan Ngueng Ga di Senggarang, Kota Tanjungpinang. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Saya melihat bahwa Selat Malaka ditakdirkan memiliki untaian drama. Kami pernah mengisahkan sebuah kapal berbendera Indonesia yang digiring polisi Indonesia di Selat Malaka ke perairan tenang di Tanjungpinang. Kapal itu didakwa terkait kejahatan penyelundupan manusia di Jakarta dan Johor karena mengangkut puluhan pengungsi asal Srilangka. Kisah itu terbit di National Geographic Indonesia edisi November 2011.

Selat Malaka begitu strategis karena menghubungkan Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Perairan sepanjang celah antara Sumatra dan Semenanjung Malaya itu memang telah membentangkan harapan dan kesibukan pada setiap zaman. Hari ini kita bisa mencatat rata-rata lebih dari 240 kapal melintasi selat ini setiap hari!—belum termasuk kapal-kapal kecil yang tak terdeteksi sistem lalu-lintas kapal.

Baca Juga : Meninggal dengan Misterius di Usia 32 Tahun, Inikah Penyebab Kematian Alexander the Great?

Pada masa silam, kapal-kapal pedagang dan penjelajah melintas dan singgah dalam pelayarannya menuju jantung rempah. Gelumat para pendatang itu telah memungkinkan tumbuhnya persinggungan antarbudaya. Jaringan ekonomi, sosial, dan budaya telah merajut masa silam yang berlanjut hingga masa kini. Kota-kota di pesisir dan kepulauannya pun timbul dan tenggelam seiring perubahan zaman.

Setiap edisi Februari, kami senantiasa menyajikan kisah feature mengenai budaya Cina di Nusantara. Pada edisi ini Agni Malagina dan fotografer Feri Latief menyingkap kehidupan di balik denyut Tanjungpinang dan Senggarang—dua kawasan yang menjadi permukiman orang-orang Cina di Pulau Bintan. Mereka telah hidup berdampingan dengan etnis Melayu secara harmonis sejak awal masa kedatangan nenek moyangnya, setidaknya sekitar 800 tahun silam.

Permukiman mereka identik dengan pelantar atau jalanan yang terbuat dari bilah-bilah kayu di atas laut. Sejatinya, kampung ini merupakan permukiman bagi orang-orang Cina yang mencari penghidupan sebagai nelayan. “Bisa jadi Bintan merupakan salah satu pulau yang memiliki pelantar terpanjang di Indonesia,” ujar Agni setelah usai penugasan.

“Karakter permukiman Cina di kota lama Tanjung Pinang dan kota tua Senggarang berbeda dengan pecinan yang tersebar di Nusantara,” kata Agni. “Keunikan ini berkaitan dengan asal-usul, sejarah, dan budaya warganya. Kesahajaan terpancar dalam denyut kehidupan mereka.”

Kedua kota tua ini pernah menjadi kota dagang ramai pada 1700-an sampai 1800-an. Kini kota pesisir itu sering dijuluki sebagai ‘kota tidur’ karena ditinggalkan generasi mudanya yang mengadu nasib ke negeri tetangga—Singapura, Malaysia, Tiongkok, Taiwan, dan Australia.

Baca Juga : Kenali Jenis Gangguan Kecemasan Berikut, Apakah Anda Mengalaminya?

Hari ini pecinan Pulau Bintan diwarnai oleh keprihatinan warga akan sepinya kota tua meraka, dan generasi muda yang merantau dari desa. Warga seniornya tetap berjuang mempertahankan kearifan setempat dan tradisi Cina–Melayu demi mengembalikan kejayaan kota yang penuh harmoni. Inilah ironi dari sebuah kota yang berada dalam cengkeraman jalur naga, namun pamornya kian merana.

Feri Latief menambahkan, “Seperti monumen kejayaan ekonomi masa lalu. Sekarang kota ini menengok ke belakang dan melihat kembali kebijakan yang membuat kota itu tertinggal.”