Nationalgeographic.co.id - Tanjungpinang, ibukota Propinsi Kepulauan Riau yang terletak di Pulau Bintan memiliki warisan budaya benda dan tak benda yang berlimpah.
Sejarah panjang keberadaan Bintan dan Tanjungpinang tak luput dari peran pulau ini yang terletak di wilayah ‘Strait Settlements’, sebuah selat ramai dengan pulau-pulau yang ditinggali warga multikultur. Ia juga menjadi pusat lintasan dagang dan transportasi laut sejak masa awal Jalur Sutera Maritim dan Rempah mulai abad 2 sampai dengan abad 18. Setidaknya Bintan dan Tanjungpinang telah memiliki hubungan dagang dengan Cina pada masa Dinasti Song (960 – 1127) dengan ditemukannya keramik pada penggalian arkeologi di Pulau Singkep dan Bintan.
Pada perkembangan selanjutnya, pascaPortugis menyerang Malaka pada 1611, Sultan Mahmud Syah, penguasa Kesultahanan Melayu kala itu memindahkan pusat kerajaannya ke Bintan. Demikian pula menyusul perpindahan pusat dagang Malaka ke Aceh. Kemudian, Bintan pun lekat dengan dua kekuatan Eropa yang berbisnis di wilayah tersebut Inggris dan Belanda. Sampai pada masa berlakunya Traktat London 1824, Bintan dan sekitarnya masuk dalam kekuasaan resmi Belanda.
Baca Juga : Seruput Kopi 'Dolo' Toraja Pulu Pulu di Yogyakarta
Jika Anda sempat singgah mengunjungi Tanjungpinang kawasan kota lama–baik di kota Tanjungpinang, Pulau Penyengat maupun Senggarang–jangan lupa untuk mencecapi khasanah kuliner yang tersebar di kawasan tersebut.
Tak terhitung daftar kuliner Tanjungpinang yang merupakan wujud keberagaman budaya Melayu, Cina, India, Arab, Eropa rupa-rupa bangsa termasuk Jawa, Bugis, dan lainnya. Sebut saja nasi lemak, nasi dagang, es dohot, lakse, nasi ayam khas pecinan, la pia si kue bulan, aneka roti, roti jala, lontong usus dan lainnya. Ditambah menu mi Tarempa dan Luti Gendang khas kepulaunan Anambas yang menjadi salah satu kesukaaan warga setempat untuk jelajah kuliner Tanjungpinang.
Sederetan kedai kopi lawas yang berusia 30-an tahun tetap meramaikan suasana wajah kota Tanjungpinang dengan menu khasnya kopi O, kopi kosong, kopi susu, roti serikaya dan telur setengah matang walaupun penyajinya terbilang berusia lanjut dan tak ada keturunannya yang berminat menjadi tukang kopi. Belum lagi ditemani roti prata India yang disajikan dengan kuah gulai dan aneka lauk-pauk khas Melayu.
Satu tempat lagi yang wajib Anda kunjungi untuk santap sore dan malam, tak lain tak bukan Akau Potong Lembu, pusat kuliner Tanjungpinang yang turut menjadi saksi perkembangan sejarah kota lama Tanjungpinang pada tahun 1960an.
Saya sendiri tergelitik akan pertanyaan tentang bagaimana asal-usul pusat kuliner Akau Potong Lembu sejak pertama kali saya menjenjak kaki di kawasan kuliner tersebut. Tak putus saya bertanya pada beberapa narasumber saya. Dua orang narasumber saya ternyata masih mengingat betul bagaimana kisah berdirinya Akau Potong Lembu. Antoni Chia (72) dan Srijoto (70) berbagi kisah ingatannya pada saya ketika saya melakukan penelitian Pecinan Tanjungpinang tahun 2018 silam.
"Tentang nama ‘Jalan Potong Lembu’ itu berawal ketika masa konfrontasi, Tanjungpinang putus hubungan dengan Malaysia dan Singapura, sehingga Angkatan Laut (bagian Koperasi) di Tanjungpinang untuk memenuhi kebutuhan daging sapi harus ‘mengimpor’ sapi dari Madura. Sapi dan lembu disimpan dan dipotong di Jalan Potong Lembu sekarang ini", ujar Antoni menyinggung pendirian Akau Potong Lembu saat saya mengorek kisah masa Konfrontasi Indonesia Malaysia pada tahun 1962-1966.
"Mungkin tak banyak yang mengingat kisah ini ya,"ujar Antoni menambahkan.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR