Nationalgeographic.co.id—Proyek food estate di Merauke, Papua, adalah sebuah bentuk gastrokolonialisme. Demikianlah menurut Ahmad Arif, CO-Inisiator Nusantara Food Biodiversity--sebuah pangkalan data tentang sistem pangan lokal di Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gastrokolonialisme adalah kondisi ketika pangan yang diproduksi dan didistribusikan oleh perusahaan besar menggantikan sistem pangan tradisional masyarakat lokal.
Aik, sapaan Ahmad Arif, menyoroti proyek food estate atau cetak sawah yang digalakkan pemerintah Indonesia di beberapa daerah di Nusantara. Menurutnya, proyek ini justru berbahaya bagi ketahanan pangan.
"Keragaman hayati adalah anugerah terbesar yang kita punya," kata Aik. "Bukan hanya kaya bahan pangan, di situ lahir keberagaman budaya pangan. Karena kita beragam pangannya dan masing-masing [wilayah/pulau] terisolasi, sehingga lahirlah budaya pangan yang berbeda-beda."
"Dengan keberagaman pangan yang menurut saya berkah besar itu, sayangnya obsesi kita sekarang justru semakin menyeragamkan," ujar Aik dalam acara Lingkar Diskusi bertajuk “Merawat Cerita-Cerita Pangan Lokal” yang diselenggarakan bersama oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) dan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Jumat, 13 Juni 2025.
Proyek cetak sawah yang dilakukan di Merauke adalah salah satu contohnya. Hal ini menjadi masalah karena sejatinya masyarakat adat di Merauke memiliki budaya pangan semi berburu dan meramu. Bukan bertani.
Masyarakat adat di sana awalnya bergantung pada komoditas ekosistem hutan, seperti sagu dan hewan buruan. Namun kini hutan tersebut telah dibabat dan diubah menjadi sawah. Mereka kehilangan hutan merupakan sumber dapur mereka. Mereka tak bisa mengolah sawah. Akhirnya sawah-sawah tersebut justru hanya diolah oleh para transmigran.
Di sisi lain, masyarakat di Papua itu juga sudah diperkenalkan dengan nasi dan mi instan. "Dan nasi itu adalah candu," tegas Aik.
Masyarakat Papua jadi ketagihan dengan rasa nasi yang enak dan manis. Dengan rasa mi instan yang berbumbu. Namun nahasnya, mereka tidak bisa memproduksi beras dan gandum untuk membuat nasi dan mi tersebut.
"Akhirnya yang terjadi adalah saya bilang gastrokolonialisme," sebut Aik.
Aik pernah meneliti kondisi kesehatan masyarakat adat di empat kampung di Merauke setelah adanya program food estate tersebut. "Data gizi dan kesehatan di sana sangat buruk sekali," ujarnya.
Penyebabnya, masyarakat lokal di sana kini terbiasa untuk berburu hewan hanya untuk ditukarkan dengan beras dan mi instan. "Dia harus menghabiskan seluruh sumber dayanya hanya untuk membeli pangan yang kualitasnya sebenarnya lebih buruk dari yang mereka makan sebelumnya. Jadi dia memburu binatang, dia jual dagingnya, dia beli mi instan dan beras, untuk keluarganya hanya untuk tulang dan kulit," tutur Aik.
"Jadi angka-angka menunjukkan ya terjadi penurunan kualitas kesehatan. Kematian anak dan bayi cenderung meningkat di daerah-daerah yang dihuni oleh masyarakat lokal," ungkap Aik.
"Inilah gastrokolonialisme. Penjajahan terhadap perut. Karena membuat masyarakat tergantung dengan makanan baru yang sebenarnya kualitasnya tidak lebih baik."
Yang menarik, menurut catatan Aik, praktik gastrokolonialisme seperti ini telah terjadi di Nusantara setidaknya sejak zaman kolonial Belanda. "Cetak sawah itu sudah dimulai sejak zaman Belanda. Di Mentawai sejak 1902," ujarnya.
Salah satu rekomendasi misi agama Belanda untuk penyebaran di Mentawai adalah mereka harus mendatangkan teknik budi daya dan makanan baru yang tidak memiliki ikatan dengan masyarakat adat di sana. Sebab, banyak pangan lokal di sana terkait dengan tradisi dan ritual adat yang berkontribusi dalam menjaga persatuan dan kepercayaan mereka.
Dan lewat metode gastrokolonialisme itulah, penjajahan di Mentawai akhirnya berhasil dilakukan oleh pihak Belanda.
Aik menyayangkan bahwa kini bahwa beras kini hampir semua masyarakat Indonesia sudah sangat bergantung terhadap beras dan gandum (mi instan). Akibatnya angka impor terhadap dua produk selalu besar setiap tahunnya. Masyarakat mulai meninggalkan pangan lokal mereka sehingga ketahanan mereka juga makin rentan.
Salah satu kelompok kecil masyarakat yang masih bisa berdaulat pangan dengan pangan lokal di sana adalah Suku Boti di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka punya prinsip, "Tanamlah apa yang kamu makan, dan makanlah apa yang kamu tanam."
Angka kesehatan di Boti sangatlah baik, tidak seperti daerah-daerah lain di sekitarnya di NTT. Angka stunting di Boti juga sangat kecil, tidak seperti daerah-daerah tetangganya.
Chef Ragil Imam Wibowo, Co-Founder Nusa Gastronomy, juga mengungkapkan keresahan serupa soal gastrokolonialisme di Indonesia. "Saya itu agak sebal kalau misalnya pulang dari suatu daerah itu, makanan oleh-oleh dari daerahnya keripik pisang lagi, keripik pisang lagi. Paling jauh kalau enggak keripik pisang, abon," ujarnya.
"Hampir semua makanan oleh-oleh di setiap daerah enggak jauh-jauh dari itulah. Kalau saya bercandaan dengan teman-teman saya, ini pasti efek javanisasi. Karena itu makanan Jawa semua."
Oleh karena itulah, seperti Aik dengan platform Nusantara Food Biodiversity, Ragil bersama Nusa Gastronomy juga mencari, mengumpulkan, dan mendokumentasikan makanan-makanan lokal dari seluruh daerah di Nusantara agar bisa dipopulerkan kembali. Agar bisa terus lestari.
Hal serupa juga dilakukan oleh Chef Laode. Finalis Masterchef Indonesia yang berasal dari Muna, Sulawesi Tenggara, itu punya keresahan personal, "Kok, di Sulawesi Tenggara sendiri belum ada kuliner yang terangkat hingga ke nasional."
Laode kini terus berupaya mempopulerkan berbagai pangan lokal dan metode masak lokal kepada sebanyak mungkin anak muda. “Sebagai orang muda yang mendalami ilmu gastronomi daerah, saya memperkenalkan makanan khas daerah dengan cara kekinian tanpa menghilangkan budaya dan tradisinya,” ujarnya.
Menghadapi masalah kerentanan pangan, Laode berpesan kepada kita sebagai kaum muda maupun masyarakat pada umumnya agar mulai menghindari jajan camilan kemasan atau setidaknya menguranginya. Jangan sampai lidah kita dijajah oleh industri.
Aik juga berpesan kepada para peserta yang hadir agar mulai mengenalkan keragaman pangan lokal kepada lidah kita sendiri maupun lidah anak-anak dan keluarga kita secara rutin. Mulailah menanam tanaman pangan di pekarangan atau halaman rumah kita. Misalnya sukun atau tanaman pangan lainnya.
Public Relations & Fundraising Officer IDEP Foundation, Rodearni Purba, menyebut contoh inspiratif penerapan metode permakultur di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Permakultur adalah sistem pengelolaan tanah dan sumber pangan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
Para petani di sana mengembangkan praktik agroekologi yang tidak hanya produktif, tetapi juga menjaga siklus alam dan memperkuat kemandirian pangan keluarga. Rodearni mengatakan program pelatihan permakultur oleh IDEP menawarkan opsi alternatif untuk mengelola lahan yang ada. “Bahkan," katanya, "pekarangan rumah yang sebelumnya adalah lahan kosong dapat dimanfaatkan untuk produksi pangan yang difokuskan pada konsumsi keluarga."
Semua itu dilakukan demi melestarikan tanaman pangan lokal yang tersedia di lingkungan sekitar serta meningkatkan ketahanan pangan masyarakat lokal. Jika semua keluarga dan kelompok masyarakat lokal punya ketahanan pangan yang kuat, ketahanan pangan nasional juga akan terbentuk dengan sendirinya.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR