Tiba di negeri kincir angin, saya mendengar orang berseloroh, “Kalau seorang magistrat adalah duta Tuhan di dunia, maka negara yang menjadi duta Tuhan di dunia adalah Belanda.” Bisa jadi apa yang ia katakan benar, mengingat salah satu kotanya, Den Haag, identik dengan kota asal-usul hukum internasional. Bahkan, kitab hukum di Indonesia mengadopsi hukum buatan Belanda.
Tersebutlah Hugo de Groot, ahli hukum Belanda pada akhir abad ke-16. Bersama koleganya, ia membuat fondasi hukum semesta. Sejalan itu, Belanda menjadi ikon penggagas tatanan ketertiban dan keadilan hukum bagi dunia.
Berjalan kaki menyusuri urat jantung Den Haag ibarat meniti untaian kisah sejarah yang tak akan ditemui di buku pelajaran sekolah. “Jelang dan pasca kemerdekaan Indonesia,” ujar Olivier Johannes Raap, warga Belanda yang menggandrungi eksotika Jawa, “kota ini disebut juga sebagai ‘Weduwe van Indië’ atau Janda dari Hindia Belanda. Saat itu banyak pendatang dari Indonesia pindah ke Den Haag karena menghindari masalah perang atau politik.”
PALEIS NOORDEINDE Jika bendera warna oranye dikibarkan, berarti Sang Raja Willem-Alexander tengah bekerja di dalamnya. Sejatinya, istana ini merupakan hadiah dari kerajaan kepada janda William van Oranje pada abad ke-17. Di depan pintu gerbangnya, terdapat patung perunggu pria berkuda—suami sang janda—menuju ke arah istana itu. Di belakang istana terdapat taman publik, juga kandang kuda dan gudang kereta dengan sebutan Koninklijke Stallen.
WILLEMSPARK Kalau Jakarta punya Monumen Nasional, Den Haag punya monumen yang bertema sama. Bentang taman oval yang berlokasi di persimpangan Sophialaan dan Alexanderstraat ditandai oleh Monumen Plein 1813. Monumen nasional warga Belanda itu dibangun pada 1863 untuk memperingati berakhirnya pendudukan Napoleon Bonaparte, sekaligus kembalinya William I dari pengasingan. Bagi warga, inilah pengingat kemerdekaan mereka.
BINNENHOFF Sebuah kompleks gedung di bilangan Hofweg yang digunakan sebagai kantor parlemen Belanda sejak abad ke-15. Ridderzaal, sebuah bangunan bermenara ganda di tengah kompleks Binnenhoff, boleh dikata, berdiri sejak zaman Majapahit. Pada 1949 digelar perundingan Konferensi Meja Bundar antara Indonesia-Belanda. Hasilnya, Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada bekas koloninya, Republik Indonesia—konon, itu pun kita harus memberikan imbalan miliaran gulden kepada Belanda.