Kasus Siswa Menantang Guru di Gresik, Mengapa Aksi Ini Bisa Terjadi?

By National Geographic Indonesia, Rabu, 13 Februari 2019 | 09:40 WIB
Potongan video yang menunjukkan seorang murid menantang gurunya. (Tribunnews.com)

Nationalgeographic.co.id - Viralnya video siswa SMP PGRI Wringianom, Gresik yang menantang gurunya, mengingatkan kita akan berbagai kasus serupa yang semakin kerap terjadi di Indonesia.

Sebelumnya, pada Oktober 2018, seorang siswa SMAN 7 Kendari, mengancam gurunya dengan keris karena kesal dituduh merusak sebuah motor di sekolah. Sementara pada Februari 2018, seorang guru SMAN 1 Torjun, Sampang, tewas setelah dipukul di pelipis oleh muridnya yang tidak terima ditegur.

Dan pada Senin (11/02) ramai diberitakan seorang petugas kebersihan di SMPN 2 Takalar, Sulawesi Selatan, dikeroyok sekitar empat orang siswa. Pengeroyokan terjadi karena salah seorang siswa tidak terima dipukul si petugas kebersihan, yang sebelumnya diejek oleh siswa tersebut.

Baca Juga : Morandi, Pria yang Hidup Sendiri Selama 29 Tahun di Pulau 'Surga'

Psikolog dan salah satu komisioner Komnas Anak, Elizabeth Santosa, atau yang akrab dipanggil Lizzie, kepada VOA Indonesia mengungkapkan semakin seringnya kekerasan pada guru atau petugas di sekolah, karena semakin sadarnya anak-anak akan berbagai “hak-hak individunya”.

Munculnya kesadaran akan hak, yang disebut Lizzie mulai marak sejak akhir 1990an ini, salah satunya disulut akan kemajuan teknologi sehingga informasi gampang diakses anak.

“Saya di Jakarta, (dulu) saya dipukul sama guru, tidak ada yang bisa saya dilakukan. Gak bisa lapor. Tapi sekarang, anak kesenggol sedikit, guru bisa dilaporin. Ini karena mereka sudah sadar kalau setiap orang punya hak,” kata Lizzie.

Hal ini ditambah dengan berubahnya paradigma didikan orang tua, yang juga karena pengaruh berbagai macam informasi yang diterima. “Contohnya, orang tua berpikir anak itu tidak boleh dipukul, tidak boleh dikerasin. Kalau dipukul, anak bakal trauma. Jadi, sekarang orang tua jadi terlalu protektif.”

Alhasil, berdasarkan pengamatan Lizzie, guru-guru saat ini ‘cenderung khawatir’ untuk bertindak tegas pada murid. “Semua guru ketakutan karena takut dituntut balik.”

Kasus di SMP PGRI, Wringianom, Gresik, Jawa Timur, mencuat karena viralnya sebuah video berdurasi sekitar satu menit. Di video itu, seorang guru honorer, Nur Khalim, yang menegur seorang siswa karena merokok di kelas, ditantang balik oleh siswa tersebut.

Murid yang mengenakan seragam pramuka itu, memegang kerah Nur Khalim, sambil memposisikan tangan seperti hendak memukul si guru.

Guru diminta introspeksi?

Berbeda dengan Lizzie, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, melihat bahwa guru berperan dalam kasus seperti ini, sehingga diminta ‘introspeksi diri’.

"Bagaimana dia bisa tampil berwibawa, disegani oleh siswa. Karena guru itu juga teladan. Contoh, kalau guru sudah diinjak oleh anak seperti itu, bagaimana dia bisa menjadi contoh siswa-siswanya," paparnya kepada wartawan di Jakarta.

Muhadjir juga menekankan guru berkewajiban “menjamin bahwa anak-anak yang memiliki perilaku khusus seperti itu harus ditangani dengan baik."

Psikolog dan komisioner Komnas Anak, Lizzie, menyebut bahwa salah satu cara untuk meredam fenomena ini adalah dengan mengajarkan anak untuk berpikir kritis.

Hal ini dilakukan agar informasi yang diterima, “disaring terlebih dahulu dan tidak diambil bulat-bulat, sehingga berbagai hak yang mereka tahu (dari sosmed, TV) juga diikuti kesadaran adanya batasan dan tanggung jawab.”

Dan menurutnya salah satu cara agar anak tahu berbagai batasan adalah melalui didikan dari rumah, yang ironisnya saat ini juga sedang mengalami perubahan di Indonesia.

“Nilai keluarga semakin berkurang. Kalau dulu kan sangat tradisional. Bapak bekerja, ibu di rumah. Waktu lebih banyak bersama anak. Sekarang teknologi ambil banyak waktu dari mereka. Sehingga kedekatan, bonding, menghormati, kesantunan, yang jadi struktur keluarga sekarang hampir hilang.”

Berakhir damai, tapi…

Dengan kompleksnya kondisi di balik fenomena ‘siswa menantang guru’ ini, penyelesaian masalah masing-masing kasus cenderung ‘hanya’ berujung kesepakatan damai, tanpa merunut akar masalah.

Untuk kasus SMP PGRI Wringianom, Gresik, siswa bersama orang tuanya, dan Nur Khalim bermediasi di Mapolsek Wringinanom, Gresik.

"Ke depan saya akan membimbing anak saya sepenuh hati terus-menerus sampai jenjang sekolah selesai," ujar orang tua si siswa, Slamet Riyanto kepada Nur Khalim.

Siswa berusia 15 tahun itu pun kemudian mencium tangan, dan menangis meminta maaf kepada Nur Khalim.

"Saya sudah memaafkan sejak jauh-jauh hari, permasalahan ini semoga cepat selesai," kata Nur Khalim, seperti dilaporkan wartawan di Gresik.

Baca Juga : Filofobia, Ketika Seseorang Takut untuk Mencintai dan Dicintai

Viralnya video tersebut, akhirnya memunculkan simpati pada Nur Khalim, yang dianggap sebagai sosok sabar. Berbagai media lokal pun menulis bahwa sang guru dihadiahi Umroh karena dinilai layak menjadi panutan.

Sementara pengacara tenar Hotman Paris Hutapea menghadiahi Nur Khalim uang untuk membeli “baju, agar pakaiannya rapi dan berwibawa di kelas!”

Lalu apakah solusi ini menjamin hal serupa tidak terjadi lagi di masa datang? Apa yang bisa kita lakukan?

Artikel ini pernah tayang di voaindonesia.com. Baca artikel sumber