Sering Marah, Salah Satu Gejala Depresi yang Jarang Diperhatikan

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 20 Februari 2019 | 09:00 WIB
Ilustrasi. (ra2studio/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id – Sering kali, tidak mampu mengontrol emosi hanyalah bagian dari menjadi manusia. Namun, dalam beberapa kasus, kemarahan terus menerus bisa menjadi tanda masalah yang lebih dalam: yaitu, depresi.

Sebuah studi pada 2014 menemukan fakta bahwa kemarahan—baik yang dikeluarkan maupun ditahan—sebenarnya merupakan gejala umum yang berkaitan dengan kondisi kesehatan mental.

Baca Juga : Ingin Merasa Lebih Bahagia? Cobalah Mengenal Diri Anda Sendiri

Para psikolog menyatakan bahwa orang-orang yang kesulitan menahan amarahnya, memiliki risiko untuk mengembangkan depresi. Mereka mendeskripsikan ciri ini dengan sebutan ‘kemarahan yang mengarah ke diri sendiri’ atau ‘rasa marah ke dalam diri’.

“Meski tampaknya tidak seperti depresi, tapi itulah kenyataannya,” kata Marianna Strongin, psikolog klinis di New York.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa kemarahan merupakan ‘gejala yang lebih parah karena tidak mendapat pengobatan’ dari gangguan mental seperti depresi. Oleh sebab itu, Strongin menyarankan siapa pun yang merasa sering marah, untuk segera mencari bantuan dibanding mengabaikannya.

Dibanding mereasa sedih atau kosong yang kerap dibicarakan, orang-orang depresi sebenarnya justru lebih cepat beralih ke rasa marah. Menurut Strongin, itu karena terkadang lebih mudah merasakan marah dibanding emosi murung lainnya.

“Kesedihan lebih sulit dialami,” ujar Strongin.

“Kesedihan merupakan fase, sementara kemarahan merupakan kata kerja. Jadi, terkadang orang-orang dengan depresi mengalihkan dirinya dari rasa sedih dengan marah,” paparnya.

Untuk mengatasinya, Strongin mengatakan, sebaiknya lakukan latihan pernapasan dan berolahraga. Selain itu, rajin menulis jurnal bisa memberikan manfaat untuk menangani rasa marah dan depresi seseorang.

Kepada pasiennya, Strongin kerap meminta mereka untuk menuliskan pikiran negatifnya, kemudian bertanya tentang kebenarannya.

“Sebagai contoh, jika mereka menulis ‘saya tidak cukup baik’, saya akan bertanya ‘mengapa kamu merasa begitu?’,” cerita Strongin.