Nationalgeographic.co.id - Desa Bengkala di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia, dikenal dengan sebutan Desa Kolok tanpa alasan. Terdapat sekitar 48 orang (dari 3.000 jiwa) di Desa Bengkala yang mengalami tuli-bisu atau dalam bahasa Bali disebut kolok. Sebagian besar masyarakat kolok di Desa Bengkala hingga saat ini tidak melek aksara. Dari total kolok di desa tersebut, hanya ada 4 orang yang berpendidikan SMP, 5 orang lulus SD, lalu sisa 39 orang masih buta huruf.
PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai bersama dengan (Forum Layanan Iptek Masyarakat) FlipMas Indonesia dan FlipMas Ngayah Bali, pada tahun 2015, merancang program kerja di bidang edukasi lewat KEM Kolok Bengkala, yang bertujuan memberantas buta huruf pada masyarakat kolok di Bengkala.
Selama ini, Desa Bengkala sudah memiliki sekolah inklusi bernama SDN 2 Bengkala. SD yang sudah ada sejak tahun 1978 ini pada awalnya adalah SD umum. Kemudian pada tahun 2007 berubah menjadi SD Inklusi. Anak-anak normal dan kolok bisa belajar bersama berdampingan. Saat ini, jumlah siswa di SDN 2 Bengkala ada 78 orang, termasuk 4 siswa kolok. Sementara, untuk guru pendamping khusus di SD, sekarang ada dua orang.
Baca Juga : KEM Kolok Bengkala, Rumah Harapan bagi Masyarakat Kolok Desa Bengkala
“Sebelum 2007, komunitas tuli-bisu di Bengkala tidak mengenyam pendidikan. Namun, setelah ada inklusi, anak-anak kolok bisa belajar. Mereka ditempa berbagai ilmu matematika, sains, dan juga diajarkan tiga bahasa isyarat yang berbeda; lokal, Bisindo, dan ISL. Mereka diajarkan bersaing,” ujar I Made Arpana, Kepala Desa Dinas Bengkala yang sebelumnya sempat ditemui di Kantor Desa.
Di wantilan KEM Kolok Bengkala, siang itu, banyak masyarakat kolok yang berkumpul hanya karena melihat kedatangan kami. Mereka mengucapkan “halo” dalam bahasa isyarat, dan menawarkan kami minum juga dalam bahasa isyarat. Rata-rata dari mereka masih belum melek aksara, tapi kesopanan dan kebaikan mereka jangan diragukan. Salah satunya ada Ariana.
Anak lelaki bernama lengkap I Ketut Ariana (14 tahun) ini tempo hari diundang ke Jakarta. Ia bersama 12 orang tuli-bisu lainnya didapuk untuk menyanyikan Indonesia Raya dengan bahasa isyarat di acara pembukaan Asian Para Games 2018. Ariana adalah salah satu anak kolok yang lulus SD Inklusi dan memegang ijazah SD. Ia bercerita, ketika sekolah, ia belajar dan bergaul bersama orang normal tanpa batasan. Wajahnya sumringah, bahkan ia mengakui kalau ia senang belajar. Hanya saja, dalam bahasa isyarat ia mengatakan, kalau sekolah lanjutannya jauh di kota. Oleh karena itu, ia putus sekolah.
Itu kenyataannya. Keberadaan SD Inklusi di Desa Bengkala ini ternyata belum cukup untuk dapat mengeluarkan masyarakat kolok dari buta huruf. Banyak orang kolok dewasa yang tidak bisa ikut bersekolah di SD Inklusi karena faktor usia yang tidak memenuhi syarat. Banyak juga anak kolok yang sudah lulus SD Inklusi dan ingin meneruskan sekolah, akhirnya harus terputus karena SMP Inklusi terletak jauh dari desa. Mereka juga seringkali lebih memilih bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
“Ini yang akhirnya menggerakkan PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai bersama FlipMas Ngayah Bali untuk mengadakan program edukasi nonformal di Desa Bengkala bernama Sekolah Inklusi Pra SMP. Jadi, masyarakat kolok Bengkala yang ingin belajar atau meneruskan sekolah setelah lulus SD Inklusi, tidak perlu jauh-jauh ke kota. Waktu belajar pun bisa dipilih. Mengingat banyak yang memilih bekerja pada pagi sampai siang hari, maka sekolah bisa dilakukan sore hari,” ucap Ajar Darmawan, Spv. HSSE DPPU Ngurah Rai yang sedang berkunjung ke Desa Bengkala.
“Dimulai pada pertengahan 2017, ada tiga komponen dalam program edukasi ini. Terdiri dari keaksaraan dasar di mana masyarakat kolok belajar calistung, keaksaraan fungsional di mana mereka memelajari ilmu alam, ilmu sosial, berhitung, dan lain-lain lewat keterampilan sosial, lalu baru menginjak pendidikan SMP Inklusi. Akhirnya, bentuk pendidikannya adalah SPNF (Satuan Pendidikan Nonformal). Kenapa nonformal? Karena usia yang ingin belajar berbeda-beda, tidak bisa dijadikan pendidikan formal,” tutur I Wayan Karyasa, anggota FlipMas Ngayah Bali Divisi Pendidikan, yang juga adalah dosen Universitas Pendidikan Ganesha.
Sekolah Inklusi Pra SMP diperlukan karena banyak dari anak-anak yang sudah lebih dahulu tamat SD sejak waktu yang lama, sekitar 1-3 tahun lalu. Mereka harus mengikuti Pra SMP selama tiga bulan supaya bisa di-upgrade dan tidak ketinggalan dari teman-teman lulusan SD yang baru saja tamat. Di pertengahan Oktober ini, rencananya, mereka akan dites secara inklusi. Kalau lolos, mereka bisa didaftarkan ke SMP Inklusi.
Keberlangsungan program edukasi KEM Kolok Bengkala ini sehari-harinya dapat berjalan berkat bantuan Ketut Kanta selaku guru dan pembina program, serta para tutor dari Universitas Pendidikan Ganesha. Di sela jadwal kuliah yang padat, para tutor ini secara sukarela mengajar masyarakat kolok, baik itu dalam keaksaraan dasar maupun keaksaraan fungsional yang kegiatan belajarnya bertempat di antara KEM atau ruang kelas SDN 2 Bengkala.
Kami sempat bertemu dengan kelima tutor di SDN 2 Bengkala pada sore hari. Pada pagi hari, sekolah ini berfungsi sebagai SD Inklusi. Ketika sore sekitar pukul 16.00-18.00 hari Senin-Kamis, ada program Sekolah Inklusi Pra SMP yang dilakukan di sini. Sore itu, ada empat anak kolok yang masuk sekolah. Mereka belajar tentang rambu-rambu lalu lintas. Sepanjang kegiatan belajar, bahasa isyarat menjadi bahasa pengantar untuk menjelaskan pelajaran. Terlihat betapa antusias mereka mencatat semua pelajaran di buku yang mereka bawa. Sesekali, mereka bahkan berani maju ke depan kelas untuk mencoba menulis di papan tulis.
“Pak Karyasa sudah memberi instruksi sebelum kami terjun langsung ke Desa Bengkala, bahwa kami akan mengajar orang kolok. Jadi, hal pertama yang kami persiapkan adalah belajar bahasa isyarat. Waktu itu, belajarnya Bisindo di YouTube. Minimal tahu alphabet. Tapi waktu awal-awal, kami sempat shock juga. Ternyata tidak semudah itu. Untung ada Pak Kanta yang intens membantu,” ucap Kadek Daivi Wahyuni dan Ni Putu Riska Novelia yang sudah dua tahun menjadi tutor di Desa Bengkala. Mereka diajak oleh I Wayan Karyasa, yang kebetulan adalah dosen mereka di kampus Undiksha.
Baca Juga : Kisah Pekerja Perempuan Menyusui dan Kebutuhan Laktasi Sebagai Hak
Tahun lalu, program aksara kolok kelih sudah dilakukan dengan peserta adalah orang-orang kolok dewasa (kelih artinya dewasa) produktif yang belum pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Mereka belajar keaksaraan dasar. Hasilnya, kini ada sekitar 8-10 orang yang aktif di KEM sudah bisa calistung. Sementara, program yang kini sedang berjalan adalah keaksaraan fungsional untuk kolok kecil atau anak-anak.
“Aksara dasar pengetahuannya setara dengan SD kelas 1-3 SD, sementara aksara fungsional itu grade-nya setara dengan kelas 4-6 SD,” tambah I Wayan Karyasa.
Dalam keaksaraan fungsional, ada lima mata pelajaran yang sudah dimulai sejak tahun lalu. Ialah belajar mejejahitan (canang, sesajen), memasak, belajar batik lukis, membuat keripik, dan menyulam. Yang belum terlaksana adalah membuat dupa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh peserta program menjadi objek pendidikan. Selayaknya sembari menyelam minum air, mereka bisa belajar ilmu berhitung atau ilmu alam sekaligus melatih life skill yang bisa digunakan di kehidupan nyata.
Para tutor sekali lagi berperan penting untuk membantu berjalannya program aksara fungsional di KEM Kolok Bengkala. Seperti hari itu, Pak Karyasa, Daivi, Riska, Ayudia, Ari, dan Verosi mengajarkan anak-anak kolok untuk mewarnai batik. Hari itu, lewat batik lukis, mereka belajar tentang warna-warna, bunga-bunga yang menjadi motif batik, dan angka-angka dari panjang-lebar kain.
Baca Juga : Sering Menahan Kencing? Ini yang Akan Terjadi Pada Tubuh Anda
“Wah, mereka harus bisa semuanya. Kegiatan ini sangat tertumpu pada pengajar. Nantinya mereka, kan, ingin jadi guru. Ini media kami untuk mendidik guru yang baik. Biarpun mereka orang Kimia (Pendidikan Kimia), penting buat mereka untuk bisa belajar tentang sosial dan peka terhadap persoalan hidup, seperti yang ada di Desa Bengkala ini,” kata Pak Karyasa sembari mengamati anak-anak mewarnai.
Program edukasi Sekolah Inklusi Pra SMP ini memang belum berjalan lama, tetapi Pak Kanta sebagai pendamping masyarakat kolok, merasakan perubahan positif yang sudah terjadi secara bertahap. Masyarakat kolok kini lebih berani untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka pun pelan-pelan melek aksara dan bisa calistung.
“Ke depannya, pada 2019, kami fokus untuk merealisasikan SMP Inklusi di Desa Bengkala,” tutup Pak Ajar dari PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai.
Penulis: Astri Apriyani