Nationalgeographic.co.id - Matahari baru saja tampak, Ririh Setyaningsih (27) sudah meninggalkan rumahnya. Langkah kakinya berjalan berirama menuju tempat ia bekerja, pabarik garmen yang berjarak sekitar 12 km dari rumah.
Sebelum sampai di sana, sambil menggendong anaknya Ririh singgah sejenak ke sebuah rumah.
Ririh kemudian menitipkan sang anak, Akhtar Reyhan Putra yang masih berumur 14 bulan kepada sang tetangga di desa Soko Kalo, Ungaran, Jawa Tengah, untuk diasuk selama ia bekerja.
Baca Juga : Berbeda dengan Klaim Trump, Rudal Korea Utara Ternyata Masih Aktif
Kegiatan ini bukanlah hal yang baru, baik bagi Ririh. Sebelumnya Ririh juga melakukan hal yang sama terhadap anak pertamanya, Zhifana Putri Anjani Ramadhanta. Namun saat itu ia menitipkan sang anak kepada neneknya.
Alasannya adalah karena tuntutan ekonomi. Ia dan suami, Rohanan (34) harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga.
Dalam beberapa bulan Ririh memiliki kegiatan baru di tempat kerjanya. Selepas istirahat siang, ia dan beberapa temannya—yang juga baru memiliki anak—memerah asi di sebuah ruang laktasi yang disediakan oleh pemilik pabrik.
Di dalam ruang berpendingin itu, ia biasa "memompa" satu liter asi untuk sang anak nanti. Asi dimasukan ke dalam kulkas ruang laktasi dalam 10 botol berkapasitas 100 ml. Namun seiring bertambahnya umur sang anak, produksi asi Ririh pun menurun.
Ruang laktasi yang dinilai nyaman bagi Ririh dan sekitar 50 pekerja perempuan menyusui ini sebenarnya baru dibuat pada tahun 2012. Satu tahun setelah anak pertamanya lahir. "Sebelum ada ruang laktasi, asi dibuang ke toilet. Karena bengkak (payudaranya)," ungkap Ririh sambil mengingat asi yang terbuang untuk anak pertamanya.
“Manfaat laktasi itu untuk memperlancar ASI dan semakin banyak, tidak terbuang percuma. Bayi bisa mendapat ASI ekslusif walau ibu bekerja,” tambah Ririh.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR