Rumah Harapan bagi Masyarakat Kolok Desa Bengkala

By National Geographic Indonesia, Kamis, 28 Februari 2019 | 09:05 WIB
(Kurniawan Mas'ud)

Nationalgeographic.co.id - Sebuah gapura batu khas Bali berdiri di mulut gang dengan tulisan “Selamat Datang di Desa Bengkala”. Ini menandai kedatangan kami di Desa Bengkala, sebuah desa di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, di sebelah utara Bali. Desa ini tepatnya berlokasi sekitar 15,6 km dari pusat Kota Singaraja atau sekitar 100 km dari Kota Denpasar.

Menurut prasasti berbentuk enam lempengan tembaga dari zaman pemerintahan Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus Arkaja Cihna (1133-1173 M), pada masa itu desa ini terkadang disebut Bengkala, tetapi kadang juga disebut Bangkala. Prasasti ini berangka tahun saka 1103 (22 Juli 1181 M) dan ditemukan pada 1971. Prasasti ini memuat catatan tentang kehidupan di Bangkala dan keluhan masyarakat terhadap perilaku pejabat kerajaan yang tidak adil dalam masalah perpajakan.

Baca Juga : Kisah Pekerja Perempuan Menyusui dan Kebutuhan Laktasi Sebagai Hak

“Dari awal selanjutnya ditentukanlah batas-batas wilayah desa pada keempat arah, yaitu batas di timur tukad culikan, batas selatan Desa Bangkala adalah batu bulitan pimula, batasnya di barat tukad air raya, batasnya di utara babyara terus berbelok ke timur laut. Demikianlah luas wilayah dari Desa Bangkala.” (lempeng 6)

Dengan adanya catatan dalam prasasti ini, sah sudah bahwa Desa Bengkala telah ada sejak sangat lama. Tanggal ditulisnya prasasti ini, yaitu 22 Juli, diresmikan menjadi hari peringatan lahirnya Desa Bengkala.

Prasasti Desa Bengkala. (Kurniawan Mas'ud)

Lepas dari gapura selamat datang, jalanan beraspal yang semakin mengecil dan semakin berkerikil mengarahkan kami memasuki Desa Bengkala. Dari luar, kehidupan masyarakat Desa Bengkala selayaknya seperti kebanyakan desa pada umumnya. Setiap pagi, orang-orang dewasa berangkat bekerja. Ada yang bekerja sebagai guru, staf kantor desa, petani, sampai buruh serabutan, seperti kuli bangunan atau penggali kubur. Sementara, anak-anak mereka berangkat sekolah, baik itu sekolah di desa ataupun ke Kota Singaraja.

Keistimewaan Desa Bengkala baru terasa ketika kita berhadapan langsung dengan warga di sana. Kemungkinannya besar kita akan disambut dengan ucapan selamat datang menggunakan bahasa isyarat. Desa Bengkala adalah sebuah desa istimewa yang memiliki komunitas tuli-bisu cukup tinggi. Dari keseluruhan penghuni desa, sekitar 2%-nya atau sekitar 48 orang, lahir dalam keadaan kolokbahasa Bali untuk “tuli-bisu” (Profil Desa Bengkala Tahun 2012). Karena itu pula, Desa Bengkala sering juga disebut dengan Desa Kolok.

Selama ini, kita banyak mendengar tentang orang-orang disabilitas yang mengalami diskriminasi atau pengasingan karena dianggap sebagai aib atau kutukan. Namun, hal tersebut tidak terjadi di Desa Bengkala. Masyarakat normal dan kolok di Bengkala hidup berdampingan dengan rukun. Bahkan, mereka yang normal sejak kecil sudah belajar cara berbahasa isyarat, agar dapat berkomunikasi dengan orang-orang kolok.

“Di Bengkala, masyarakat sehari-harinya menggunakan sign lokal, yang asalnya dari bahasa ibu sini. Sign ini agak beda dari Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) atau ISL (International Sign Language). Cuma uniknya di sini itu, tidak cuma orang kolok saja yang ber-sign lokal. Sekitar 80% masyarakat Bengkala, termasuk yang normal, juga bisa bahasa isyarat. Ini yang akhirnya membuat kami yang normal dan kolok bisa hidup berdampingan. Orang-orang koloknya juga jadi tidak minder, bisa berinteraksi, bisa berkomunikasi,” ungkap I Made Arpana, yang sudah menjabat sebagai Kepala Desa Dinas Bengkala selama 5 tahun.

(Kurniawan Mas'ud)

Keharmonisan hubungan antara masyarakat normal dan kolok adalah keistimewaan yang bisa dibanggakan dari Desa Bengkala. Namun, mengenal lebih dalam Desa Bengkala, di antara lahan-lahan berundak, pohon-pohon jambu mete, pohon pisang, pohon mangga, sampai tanaman kunyit yang banyak tumbuh, kita bisa melihat betapa keringnya lingkungan desa, terutama jika kemarau panjang melanda seperti sekarang. Hujan tidak turun sejak April, sementara sekarang sudah Oktober. Akibatnya, banyak pohon mati, sayur-mayur tidak bisa tumbuh, ladang pun kerontang. Ada persoalan ekonomi yang selalu menghantui masyarakat Bengkala umumnya, dan masyarakat kolok Bengkala khususnya.