Asa Tak Terbatas dalam Mendidik dan Mengembangkan Anak Berkebutuhan Khusus

By Gita Laras Widyaningrum, Kamis, 28 Februari 2019 | 10:00 WIB
Dipandu gurunya, Iksal (11) dipandu gurunya melakukan senam pagi. (Ade/National Geographic Indonesia)

Sambutan positif juga datang dari Ida Reni. Anaknya, Iksal Syahreza mengidap DMD (Duchenne Muscular Dystrophy) yang membuat otot-ototnya melemah seiring bertambahnya usia. Saat ini, Iksal kehilangan kemampuan berjalan.

Awalnya, Iksal sempat bersekolah di sekolah umum. Namun, pihak sekolah ternyata tidak mendukung proses pembelajaran untuk penyandang disabilitas seperti Iksal. Tidak hanya teman sebaya yang selalu mengejek, guru-guru juga meremehkan Iksal yang sulit mengikuti kegiatan di sekolah karena penyakitnya.

Situasi yang tidak menyenangkan tersebut membuat Iksal merasa minder dan terpaksa keluar dari sekolahnya. Selama tiga bulan, bocah berusia 11 tahun ini hanya belajar di rumah sebelum akhirnya bergabung dengan Dreamable pada pertengahan Oktober ini.

“Sekarang mah Iksal seneng sekolah di sini. Katanya gurunya baik-baik dan nggak ada yang marahin lagi,” ungkap Ida.

Skeptis dan terbatasnya fasilitas

Meski begitu, tidak semua orangtua seperti Wati dan Ida. Menurut Yuli, masih banyak orangtua yang tidak ingin menyekolahkan anaknya. Mereka merasa malu memiliki anak berkebutuhan khusus sehingga cenderung menyembuyikannya di dalam rumah. Selain itu, para orangtua ini juga skeptis terhadap kemampuan anaknya dan menganggap mereka tidak berguna.

Melalui program Dreamable, PT Pertamina TBBM Bandung Group membantu ABK di sekolah inklusi Hidayah. (Ade/National Geographic Indonesia)

“Orangtua yang ‘bandel’ ini membuat saya sedih. Makanya saya tidak pernah berhenti untuk mengajak mereka untuk menyekolahkan anaknya. Anak-anak ini juga manusia dan berhak mendapat pendidikan,” tutur Yuli.

Untuk ABK yang tidak diperbolehkan pergi ke sekolah, Yuli pun memberlakukan Kelas Kunjung. Seminggu sekali, biasanya Yuli akan datang ke rumah mereka sambil membawa alat edukasi. Meski kadang ditolak mentah-mentah, tetapi ibu empat anak ini tidak pernah menyerah.

Tak dapat dimungkiri, salah satu kesulitan yang dialami Yuli adalah terbatasnya dana.

“Banyak orangtua ABK yang berpikir bahwa dengan mengemis saja mereka sudah bisa mendapat uang. Jadi, tidak perlu belajar. Namun, saya ingin sekali mengajak mereka bersekolah karena mumpung masih mudah dibentuk karakternya,” imbuhnya.

Selain penolakan orangtua, tak dapat dimungkiri bahwa kesulitan lain yang dialami Yuli adalah terbatasnya dana dan fasilitas. Rumahnya yang tidak begitu besar akan sulit menampung lebih banyak anak ABK. Kegiatan dalam Program Dreamable pun tidak bisa sering-sering dilakukan di luar ruangan, seperti piknik atau berenang, karena tidak ada biaya dan transportasi.