Tragedi Pendakian Himalaya: Kegetiran Menuruni Gunung Gasherbrum II

By Rahmad Azhar Hutomo, Jumat, 17 Mei 2019 | 11:26 WIB
Seorang pendaki gunung memotret dirinya sendiri beberapa menit setelah menggali dari longsoran salju di Gasherbrum II. (CORY RICHARDS/National Geographic)

Baca Juga: Es di Gunung Everest Mencair, Keberadaan Mayat-mayat Pendaki Terungkap

Saat itu kami sedang bergegas—kami bertiga terikat tali bersama-sama—berharap untuk mengalahkan serangkaian badai yang bergerak ke arah kami, saat saya mendengar raungan itu. Saya teringat usaha sia-sia saya untuk menggerakkan tangan serta menendangkan kaki. Namun, dalam waktu yang amat singkat saya terputar bagaikan berada di dalam mesin cuci yang penuh amarah. Mulut dan hidung saya dipenuhi oleh bubuk, dan salju masuk ke dalam jaket bulu angsa saya. Suara raungan telah digantikan oleh keheningan yang amat mendalam, dan dingin yang amat terasa mulai merayap ke dalam tubuh saya.

Amatlah sulit untuk menggambarkan teror dari pengalaman tersebut dengan kata-kata. Namun kami semua selamat.

Jauh dari membuat saya menjadi “sembuh”, pengalaman di Gasherbrum II menghancurkan saya. Seiring berjalannya waktu, gelombang kepanikan tiba-tiba bisa menyelimuti saya seperti avalans kecil. Tubuh saya dibanjiri keringat. Tiba-tiba saya merasa terganggu dan gusar. Untuk melarikan diri darinya, saya mabuk gila-gilaan dan berselingkuh terhadap istri saya, yang menambah rasa malu dan benci terhadap diri sendiri. Akhirnya saya terkubur dan tercekik oleh kematian sekali lagi. Saya bercerai, kehilangan sponsor profesional utama saya, bertingkah bodoh, dan menyakiti orang-orang yang saya kasihi. Tak ada alasan untuk kelakuan buruk serta keputusan yang buruk. Namun terkadang setelah kekacauan, muncullah sedikit kejelasan.

Seorang terapis akhirnya menjelaskan bahwa saya menderita gangguan stres pascatrauma, dan dengan cinta dan dukungan dari banyak orang, saya perlahan-lahan bisa keluar dari hal tersebut. Saya berhenti minum minuman keras dan mulai mendaki kembali, dan kembali ke Himalaya. Saya mulai mengenali bahwa pikiran yang menyatakan bahwa mendaki sebuah gunung akan membuat saya sembuh, itu sama saja seperti sebuah ilusi tentang pikiran yang menyatakan bahwa foto saya setelah avalans terjadi, menggambarkan sosok seorang pahlawan.

Tetap saja, saya tak bisa melarikan diri dari foto itu. Foto itu seperti mengikuti saya ke manapun saya pergi, seperti hantu diri masa lalu, mengingatkan saya seberapa ringkihnya saya. Seberapa ringkihnya kita semua.

Penulis: Cory Richards