Nationalgeographic.co.id - Seorang pegawai bergegas dari kantornya di Societeit Straat (kini Jalan Veteran) No.2-4, Surabaya, menuju kawasan bisnis nan sohor: Kembang Jepun. Tampaknya dia bekerja sebagai penata laksana di bagian keuangan NV Carl Schlieper Handel Maatschappij. Perusahaan asal Jerman ini menjual aneka peralatan pertukangan, gerendel pintu, pisau lipat, hingga pencukur jenggot.
Kantornya terpaut cukup dekat dengan Kembang Jepun, dengan memintas lewat Jembatan Merah, jaraknya hanya sekitar satu kilometer. Dia memasuki beranda khas bangunan modern-tropis milik kantor bank berlantai dua di kawasan bisnis itu, Nederlandsch-Indische Escompto Maatschappij. Sebuah bank yang telah berdinas di beberapa kota besar di Hindia Belanda sejak 1859, termasuk di Surabaya.
Baca Juga : Roti Berbiang Air Kencing di Kamp Tawanan Jepang untuk Bertahan Hidup
Sang pegawai perusahaan Jerman itu menemui petugas bank Escompto untuk mencairkan sejumlah mata uang yen Jepang. Dia menulis dalam blanko jumlah uang sebesar 400 yen, lalu menyerahkan kembali kepada bank. Jumlah tersebut harus sudah tersedia pada hari Senin, 17 Februari 1941.
Escompto pun segera memproses segala persyaratan yang diperlukan untuk mengeluarkan sejumlah uang tersebut dari pembukuan. Para pejabat Escomto telah mengesahkan segala dokumen secara berlapis, artinya kasir Escompto bisa mengeluarkan uang milik perusahaan Jerman milik keluarga Carl Schlieper itu.
Nama Carl Schlieper kini jarang terdengar lagi di Indonesia. Perusahaan ini mengimpor alat-alat pertukangan dari Remscheid di Jerman ke kota-kota di Hindia Belanda. Kalau kita meneroka gudang tinggalan kakek buyut, mungkin kita masih menjumpai barang-barang pabrikan Carl Schlieper. Biasanya, barang-barang itu bersimbol mata membelalak lengkap dengan sinar-sinar yang menjari—mirip simbol iluminati—dengan tulisan “C.SCHLIEPER-REMSCHEID”.
Kembali ke Escompto, hari pencairan dana yang ditunggu pun tiba. Sejumlah 40 lembar uang kertas pecahan 10 yen, bergambar lelaki Jepang dengan kumis dan jenggot, telah disiapkan. Selembar kuitansi dengan tulisan yang diketik rapi turut menyertainya. Kuitansi itu menyatakan jumlah uang, nama kantor kedua belah pihak, dan tanggal pencairan hari itu: 17 Februari 1941.
Escompto hanya menunggu sang pegawai dari NV Carl Schlieper itu untuk datang menandatangani kuitansi dan mengambil haknya. Namun, hari itu nasabah yang ditunggu tidak datang. Bahkan, ketika Hindia Belanda tamat dan Republik Indonesia berdiri pun batang hidung sang pegawai penata laksana keuangan perusahaan Jerman itu tak kunjung muncul.
Tahun demi tahun berlalu, Escompto pun berpindah kepemilikan menjadi aset Republik. Pada 1960 namanya menjadi Bank Dagang Negara, dan kemudian menjadi Bank Mandiri. Lagi-lagi lembaran uang yen itu tetap tersimpan di brankas, melayang-layang menanti pemiliknya.
Lebih dari tujuh dasawarsa telah terlampaui, wajah Kembang Jepun sudah berubah. Lembaran-lembaran uang yen, sehelai kuitansi, selembar surat dari lembaga penukaran mata uang, secarik memo pengesahan pejabat bank telah melapuk dan usang.
Mengapa perusahaan Jerman tersebut urung mengambil uangnya, hingga kini tak ada yang bisa menjelaskan dengan pasti. Suasana Eropa menjadi kacau-balau ketika pecah Perang Dunia II pada akhir 1939: Hitler menginvasi Polandia. Sekutu-sekutu Polandia pun menyatakan perang terhadap Nazi Jerman. Kekalutan pun kian merembet ke Eropa Barat.
Dampaknya di Asia Tenggara, perusahaan berkebangsaan Jerman mulai masuk dalam daftar hitam perdagangan pada Maret 1940, termasuk puluhan yang berada di Hindia Belanda.
Beberapa bulan berikutnya ketika Nazi Jerman telah menduduki Belanda, warga Jerman yang berada di Hindia Belanda pun ditangkap dan menjadi tawanan militer KNIL. Tampaknya, periode ini menjadi pukulan berat bagi semua perusahaan Jerman, tak terkecuali bisnis Carl Schlieper.