Nationalgeographic.co.id - “Dalem kamp ada banjak andjing bergelandangan,” ungkap Nio Joe Lan. “Lantaran sanget lapar, andjing ada jang potong. Saja poen perna liat orang panggang tikoes.”
Nio merupakan seorang jurnalis. Karirnya bermula di majalah Penghiboer, berlanjut di surat kabar Keng Po dan harian Sin Po. Dia juga gemar menulis mengenai kebudayaan masyarakat Tionghoa. Kelak karya tulis Nio menginspirasi para peneliti budaya Tionghoa di Indonesia, dan bahkan seantero jagad. Ketika usianya 38 tahun, dia dan orang-orang Tionghoa dari beberapa kota di Jawa menjadi tawanan Jepang.
Baca Juga : Meresahkan, Tersebar Daftar 'Breedready' Berisi Data Wanita Tiongkok yang Siap Memiliki Anak
Kala riwayat Hindia Belanda baru saja tamat, semua warga Belanda atau keturunannya dikumpulkan dalam kamp-kamp tawanan Jepang. Khusus bagi warga Tionghoa, Jepang hanya melakukan tindakan keras terhadap mereka yang dianggap pro-Chungking dan anti-Jepang. Di dalam tawanan itu termasuk para opsir Cina, pemuka warga pecinan, dan jurnalis yang tampaknya tak pernah terbukti melakukan perlawanan anti-Jepang.
Awalnya warga Tionghoa ditawan di Boekit-Doeri, lalu pindah ke Serang. Kemudian mereka dipindahkan sekali lagi ke Cimahi, tinggal bersama warga kulit putih hingga akhir Agustus 1945. Kamp tawanan Jepang di Cimahi dihuni sekitar 10.000 orang, sebagian besar orang kulit putih. Penghuni Tionghoa hanya sekitar lima persennya.
Mereka serba kecukupan soal makanan, setidaknya pada masa permulaan menjadi tawanan. Namun, ketika Jepang mulai terdesak, makanan menjadi persoalan serius. Roti yang biasanya bisa mereka beli, kini tak bisa mereka nikmati lagi. Pembagian roti dalam kamp pun mulai menjarang. Akhirnya, roti yang cukup mengenyangkan bagi tawanan pun berganti jagung, kacang kedelai, singkong atau ubi.
Untungnya, Jepang membolehkan mereka untuk memproduksi roti sendiri. Kebetulan di tangsi militer Cimahi yang saat itu menjadi kamp tawanan—pernah ada pabrik roti. Kaleng-kaleng cetakan roti yang terlanjur menjadi gayung WC atau gayung kamar mandi para tawanan, akhirnya dikembalikan, demikian Nio berkisah.
“Pertjobaan dibikin dan berhasil,” ungkap Nio, “biarpoen roti pertama lebih mirip batoe bata daripada roti." Di kamp Cimahi berbagai ilmuwan berkumpul sebagai tawanan perang. Dari ilmu yang mereka miliki, Nio bercerita, pembuatan roti untuk para tawanan tidak lagi tergantung pasokan biang atau ragi dari Jepang. Mereka menggantinya dengan biang dari air kencing!
Caranya, air kencing para tawanan ditampung dalam beberapa drum kemudian diolah menjadi biang roti. Cara bertahan hidup mereka yang unik ini banyak diabadikan dalam coretan lukisan karya orang-orang Belanda yang menjadi tawanan di Cimahi.
“Djoemblah jang perloe dari aer kentjing laloe dikoempoelken dan diangkoet ka satoe pendirian baroe, jang dinamaken Gistbedrijf [Peroesahaan Biang],” ungkap Nio. Tanpa biang, adonan roti tidak akan mengembang dan empuk. Dari biang air kencing milik para tawanan ini dihasilkan pula minuman bernutrisi bagi tawanan yang sakit—berwujud serbuk halus atau dedak.
Pada akhirnya, mereka berhasil memproduksi roti kadet untuk 10.000 tawanan. Setiap orang mendapatkan roti dengan berat hanya sekitar 110-150 gram! Pabrik roti itu bisa lestari berproduksi asalkan tersedia gandum, minyak, kayu bakar—dan air kencing.
Baca Juga : Sindrom Mayat Berjalan, Ketika Seseorang Berpikir bahwa Ia Sudah Meninggal
Kisah pengalaman hidup sebagai tawanan Jepang itu ditulis sangat teliti oleh Nio. Kisah tentang kehidupan di dalam kamp tersebut merupakan warisan langka, tidak banyak orang yang menulis. Catatan hariannya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Dalem Tawanan Djepang (Boekit Doeri-Serang-Tjimahi): Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djeman Pendoedoekan Djepang. Buku itu pertama kali diterbitkan oleh Lotus Company pada1946. Sekitar 62 tahun kemudian, Komunitas Bambu menerbitkan ulang buku ini.
Nio mengakhiri kisahnya, para tawanan menandai produksi roti berbiang air kencing yang ke-1.000.000 dengan meyisipkan selembar bon persenan satu kaleng mentega. “Sebagai tanda-peringetan!”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR