Nationalgeographic.co.id - Ketika kondisi mental manusia mengalami gangguan, berbagai kondisi pun kemudian terjadi. Memang tidak ada yang menginginkan hal tersebut terjadi, tetapi pada kenyataannya bisa saja kita mengalaminya.
Salah satu sindrom yang terjadi sebagai dampak dari adanya masalah pada kesehatan mental manusia adalah sindrom cotard. Ketika seseorang mengalami hal ini, ia akan meyakini bahwa dirinya sudah tidak bernyawa.
Baca Juga : Meresahkan, Tersebar Daftar 'Breedready' Berisi Data Wanita Tiongkok yang Siap Memiliki Anak
Ya, Anda mungkin jarang mendengar tentang hal ini. Pedro Morgado, M.D, Ph.D, profesor di University of Minho School of Medicine mengatakan bahwa sindrom ini adalah sindrom yang sangat langka. Bahkan sindrom cotard hanya ditemukan dalam kurang dari satu persen orang-orang yang menderita depresi berat.
Para dokter masih belum mengetahui dengan pasti mengenai penyebab sindrom ini. Namun mereka mencurigai adanya hubungan antara sindrom cotard dengan gangguan mental lainnya, seperti depresi dan skizofrenia. Atau bahkan bisa juga karena trauma otak.
Walau tidak diketahui secara pasti, beruntung seseorang yang mengalami sindrom ini bisa dipulihkan. Para ahli akan mencari adanya penyakit lain yang diduga sebagai pencetus sindrom cotard. Mereka kemudian akan fokus dalam penanganan penyakit pencetus tadi.
Ketika sudah dapat ditangani dengan baik, sindrom cotard pun akan menghilang dengan sendirinya.
Salah seorang penderitas sindrom cotard, Esme Weijun Wang, juga didiagnosa menderita bipolar skizoafektif pada tahun yang sama ketika ia mengalami sindrom Cotard. Dokter dan para pakar yang menanganinya kemudian berfokus terhadap penanganan kondisi bipolar Esme.
Baca Juga : Mengagumkan, Tumbuhan Mampu Ketahui Siapa yang Menyantap Mereka
Setelah pulih dari perasaan sudah meninggal ini, Esme kemudian menulis esai mengenai pengalamannya tersebut. Wang menjelaskan bagaimana ia melalui hidupnya selama berminggu-minggu tapi tidak merasakan emosi apapun.
Esme juga menuliskan pengalamannya ketika ia tidak bisa bergerak selama hampir dua bulan, sebuah kondisi yang disebut dengan nama catatonic psychosis.
Source | : | Berbagai Sumber |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR