Nationalgeographic.co.id—Setiap malam, pemandangan serangga yang berkerumun di sekitar lampu terasa begitu lumrah. Namun, fenomena ini masih menyimpan misteri ilmiah.
Menariknya, bagi serangga seperti ngengat, nyamuk, dan lalat kecil, cahaya buatan bisa menjadi jebakan mematikan. Mereka bisa terperangkap di bawah tudung lampu atau menjadi sasaran empuk bagi predator seperti kumbang, laba-laba, kelelawar, hingga burung malam.
Menurut Avalon Owens, peneliti di Harvard University, perilaku "berputar-putar bodoh" ini bahkan bisa mengalihkan perhatian serangga dari aktivitas penting seperti makan, kawin, dan bereproduksi.
Paparan cahaya buatan juga diduga menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi serangga secara global. Maka muncul pertanyaan besar: mengingat bahayanya, mengapa serangga tetap tertarik pada cahaya?
Beragam teori pernah diajukan. Ada yang berpendapat bahwa ngengat menggunakan cahaya bulan sebagai alat navigasi, dan lampu buatan menyerupai bulan.
Teori lain menyebutkan bahwa serangga mungkin mencoba menuju cahaya untuk melarikan diri — atau justru mencari kegelapan.
Owens menjelaskan bahwa ilusi optik yang disebut mach bands bisa membuat tepi area terang tampak lebih gelap dibandingkan area gelap lainnya, sehingga serangga mungkin tertarik ke area yang tampaknya lebih gelap itu.
Pada 1965, seorang peneliti bahkan mengemukakan bahwa cahaya mungkin meniru feromon kawin.
"Itu teori yang cukup liar!" kata Yash Sondhi, peneliti pascadoktoral di Florida Museum of Natural History yang mempelajari ngengat dan sistem sensorik. “Tapi saat itu, semua teori belum punya bukti kuat,” ujarnya kepada Live Science.
Secara umum, tampaknya respons serangga terhadap cahaya buatan merupakan ‘jebakan’ terhadap mekanisme evolusioner lama. “Selama sebagian besar sejarah evolusi,” kata Owens, “malam hari hampir selalu gelap total.”
Sulit untuk menguji teori-teori ini karena mengamati serangga saat terbang bukanlah hal mudah. Namun teknologi baru mulai membuka kemungkinan tersebut.
Dalam studi tahun 2024 yang dimuat di jurnal Nature Communications, Sondhi bersama Samuel Fabian dari Imperial College London dan tim peneliti lainnya merekam pergerakan ngengat, capung, dan berbagai serangga lain dengan kamera berkecepatan tinggi.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR