Nationalgeographic.co.id - Pernahkah Anda membayangkan bagaimana melacak sejarah gempa bumi dan tsunami melalui sebuah mitos?
Jika dilihat sekilas mungkin Anda berpikir sulit mendapatkan data valid dari mitos. Namun, inilah yang dilakukan oleh Eko Yulianto, Eko Yulianto, pelacak jejak tsunami purba dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Baru-baru ini, Eko dan timnya membuat sebuah video dokumenter yang menceritakan perjalanannya melacak riwayat tsunami beratus tahun lalu melalui mitos Nyi Roro Kidul. Jejak tsunami yang dilacak oleh Eko adalah gelombang "monster" di selatan Jawa.
Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Kompas.com, Februari lalu, Eko menyebut bahwa biasanya tsunami besar di Indonesia menjadi mitos yang berkembang.
Baca Juga : Lima Fakta Tentang Majapahit, Kerajaan Terbesar di Nusantara
Jika merunut catatan sejarah sendiri, wilayah Selatan Jawa memang beberapa kali pernah diterjang tsunami akibat gempa besar. Sayangnya, melacak jejak tsunami di wilayah ini terbilang sulit karena tak ada banyak catatan sejarah tertulis. Salah satunya adalah tsunami yang terjadi pada 400 tahun lalu.
"Ada peristiwa yang terjadi pada 5 Januari 1699. Data saya yang dari Lebak, lebih mengindikasikan boleh jadi sumbernya bukan di darat, jalur subduksi Selatan Jawa," ujar Eko dalam video berdurasi 22 menit 50 detik tersebut.
"Itulah yang memicu kami lagi untuk mengejar benar nggak ini. Dari situlah penelitian kami lanjutkan lagi untuk menyisir Selatan Jawa," sambungnya.
Merunut mitos Nyi Roro Kidul
Video berjudul The Untold Story of Java Southern Sea itu juga menampilkan juru kunci Pantai Parangkusumo, Yogyakarta, Mas Penewu Surakso Jaladri. Dia menceritakan kisah awal munculnya Ratu Kidul atau yang kerap kita kenal Nyi Roro Kidul hingga pertemuannya dengan Panembahan Senopati yang ingin membangun Kejaraan Mataram Islam di Jawa.
Bagi Eko, kisah Nyi Roro Kidul ini menarik karena ada cerita tentang gelombang besar yang kini kita sebut tsunami dalam kisah pembangunan kerajaan Mataram Islam di Jawa.
"Pada awalnya, sesaat sebelum Panembahan Senopati atau Sutawijaya (Raja Pertama Mataram) mendeklarasikan kerajaannya, dia bertapa di sebuah tempat yang disebut sebagai Watu Gilap. Dan di situlah dia pertama kali bertemu dengan Nyi Roro Kidul," kisah Eko.
"Sebelumnya, saya hanya mendengar kisah itu dari cerita atau drama tradisional ketoprak di Jawa. Tapi ketika saya menemukan bukti itu, saya penasaran dan mencari buku Babad Tanah Jawa beberapa versi," imbuhnya.
Menurut Eko, kisah tersebut terkesan seperti dongeng. Salah satu yang digarasibawahi Eko adalah kisah Panembahan Senopati yang ingin mendirikan kerajaannya sendiri. Pada menit ketujuh, pencerita dalam video dokumenter itu berganti dengan juru kunci Pantai Parangkusumo.
Berbahasa Jawa, Surakso mengisahkan awal mula keinginan Panembahan Senopati mendirikan kerajaan.
Surakso menceritakan bahwa Panembahan Senopati diminta untuk melakukan pertapaan menggunakan perahu dari Kerajaan Pajang menuju arah selatan oleh ayahnya, Ki Ageng Pamanahan. Sementara, calon raja itu bertapa, sang ayah berjalan ke arah utara menuju gunung Merapi untuk mendapatkan pertolongan Ki Sapu Jagat.
"Panembahan Senopati itu anak angkat dari Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, yang berkuasa saat itu. Jadi dia bukan seseorang yang mempunyai darah biru," Eko memberikan penjelasan lebih lanjut.
"Tapi kemudian Sultan Hadiwijaya mencurigai Panembahan Senopati ingin mendirikan kerajaan dan mengkudetanya. Tapi dalam cerita itu menariknya adalah Panembahan Senopati dan ayahnya sudah mendengar bahwa akan ada serbuan pasukan dari Hadiwijaya," tambah Eko.
Dalam kisah itu, ketika Hadiwijaya hendak menyerbu ayah dan anak tersebut, tidak lama gunung Merapi meletus. Singkat cerita, aliran lahar dari gunung Merapi akhirnya menghalangi pasukan Hadiwijaya hingga terjatuh dari gajah tunggangannya lalu sakit dan meninggal.
"Pada kesempatan yang sama, Panembahan Senopati yang ke selatan masuk ke Kali Ompak dan berenang. Tapi kemudian diberi bantuan oleh seekor naga raksasa atau versi lain ikan raksasa yang mengantarkannya sampai ke pantai," tutur Eko.
"Sampai di pantai, dia kemudian bersemedi. Di tengah semedinya, terjadilah gelombang sangat besar," tambahnya.
Dalam kisah itu dideskripsikan gelombang tersebut memiliki air panas, mematikan segala makhluk, merobohkan tumbuh-tumbuhan yang ada di daratan, serta mengganggu makhluk-makhluk pengikut Nyi Roro Kidul. "Sehingga Nyi Roro Kidul menghadap sendiri ke Panembahan Senopati dan memintanya untuk berhenti dari semedi," ucap Eko.
Pada kisah selanjutnya, terjadi percakapan antara keduanya hingga sepakat untuk saling membantu dalam membangun kerajaan Mataram Islam di tanah Jawa.
Menalar mitos
Kisah ini menarik perhatian Eko sebagai peneliti paleotsunami. "Apakah cerita itu hanya benar-benar sebuah cerita rekaan atau mitos saja? Atau cerita itu sebenarnya sebuah metafor tentang sebuah gelombang di masa lalu?" ucap Eko.
"Nah, ketika itu tahun pendirian kerajaan Mataram Islam sendiri terjadi pada 1586, penyerbuan Hadiwijaya terjadi tahun 1584, dan hasil dating atau penanggalan (jejak tsunami purba) yang saya dapatkan plus minus 400 tahun yang lalu. Maka, seolah-olah ini menjadi waktu-waktunya sangat sinkron," tegasnya.
Eko menduga kisah tentang Nyi Roro Kidul ini adalah sebuah metafora. "Bahwa gelombang besar itu terjadi benar. Tapi kemudian karena kebutuhan politik dari Panembahan Senopati yang ingin menjadi raja baru sementara dia bukan berdarah biru, maka dia perlu legitimasi politik," kata Eko.
"Ratu Pantai Selatan sampai meminta Panembahan Senopati untuk menghentikan semedinya. Seolah-olah, dia direstui untuk menjadi raja. Jangan-jangan kecerdasan politik Panembahan Senopati inilah yang kemudian dia bisa memanfaatkan yang sesungguhnya peritiwa alam," imbuhnya.
Sebagai informasi, letusan gunung pada tahun-tahun tersebut memang benar terjadi. Hal ini membuat Eko juga mencurigai bahwa hasil temuannya juga merujuk pada gelombang tsunami yang sama dalam kisah tersebut. "Tapi kemasan yang dihadirkan oleh Panembahan Senopati dan diceritakan itu adalah hasil kerja dia dan ayahnya untuk meminta tolong," ujar Eko.
Di beberapa menit akhir video tersebut, Eko terlihat sedang melakukan kerja lapangan. Selanjutnya, dia nampak sedang memberikan penjelasan tentang riwayat gempa dan letusan gunung kepada beberapa orang. Ketika memberikan penjelasan tersebut, dia berkata, "Kejadian gempa dan tsunami (dalam kepercayaan Yunani) selalu dikaitkan dengan Poseidon."
"Yang dilihat oleh orang, saat itu dan sekarang sama yaitu gempa dan tsunami. Hanya karena orang dari waktu ke waktu memiliki kepercayaan yang berbeda-beda, mereka menjelaskan dengan cara yang berbeda," tegasnya.
Lebih lanjut, Eko juga menyinggung legenda Nyi Roro Kidul di Selatan Jawa. Menurutnya, legenda Nyi Roro Kidul merupakan hal serupa. "Tugas kita adalah mengungkap cerita-cerita lama yang sebenarnya adalah kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Hanya karena kepercayaan masyarakat pada saat itu kemudian ceritanya seolah-olah berbeda," ujarnya.
Geomitologi
Eko menuturkan, apa yang dia lakukan saat ini adalah salah satu cabang ilmu yang disebut geomitologi. "Sebenarnya ini adalah ilmu yang mempelajari kisah-kisah mitos, yang kemudian dicoba dikaitkan dengan peristiwa alam yang terjadi," kata Eko.
"Prinsip yang digunakan seperti ini, bumi itu mempunyai siklus untuk peritiwa-peristiwa yang ada di dalamnya. Apakah itu letusan gunung, atau tsunami, banjir, gempa sekalipun. Dengan demikian, manusia jaman dahulu juga melihat siklus itu," imbuhnya.
Perbedaannya adalah, menurut Eko, kepercayaan zaman peristiwa alam terjadi. Seperti halnya kisah Poseidon, kisah-kisah mitologi semacam ini juga terjadi di seluruh dunia. "Cerita-cerita itu adalah sebuah metafor yang wujudnya menjadi cerita karena kepercayaan masyarakat saat itu," ungkap lulusan ITB itu.
"Sehingga kalau kita bisa membuka kulit dari cerita itu dan menemukan inti di dalamnya, kita akan menemukan bahwa itu adalah peritiwa alam yang terjadi di masa lalu. Dan boleh jadi menyimpan pesan untuk orang yang hidup sekarang," imbuhnya.
Baca Juga : Segepok Uang Melayang-Layang di Kembang Jepun Sejak 1941, Siapa Punya?
Eko berpendapat, kisah semacam itu penting karena manusia sering kali mempunyai rentang sejarah yang pendek. Apalagi di Indonesia yang catatan sejarah tulis baru ada ketika masa penjajahan Belanda.
"Padahal kalau kita tahu, peristiwa gempa dan tsunami raksasa itu perulangannya bisa ratusan hingga ribuan tahun," tegas Eko.
"Kalau kita bisa membuka inti dari cerita itu, maka harapannya adalah bisa menggunakan cerita itu untuk membangun kesadaran masyarakat tentang adanya ancaman bencana apakah itu gempa, letusan gunung, atau tsunami," lanjutnya.
Di akhir video, Eko berharap untuk bisa melengkapi mitos-mitos ini dengan bukti ilmiah untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap potensi bencana. Artinya, kisah-kisah ini bisa dipandang dari sudut pandang akademis.Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengungkap Jejak Tsunami Purba dalam Mitos Nyi Roro Kidul". Penulis: Resa Eka Ayu Sartika.