Nationalgeographic.co.id - Hanya dalam waktu lima bulan, dua pesawat Boeing 737 Max 8 jatuh, menewaskan total 346 penumpang dan awak. Keduanya terjadi tak lama setelah lepas landas, dan kesamaan antara dua bencana menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keselamatan pesawat. Banyak negara menghentikan penggunaannya, termasuk Indonesia yang menghentikannya pada 11 Maret; Kanada dan Amerika Serikat menyusul dua hari kemudian.
Sebagai jenis pesawat dengan tingkat penjualan tercepat dan menjadi jantung bisnis Boeing, Boeing 737 Max akhirnya dilarang di seluruh dunia untuk pertama kalinya. Boikot yang dilakukan konsumen, pembatalan pesanan dan tuntutan kompensasi dari berbagai maskapai dapat memiliki konsekuensi yang berbahaya bagi perusahaan yang pabriknya berbasis di Seattle, AS. Kecelakaan yang terjadi juga menimbulkan pertanyaan tentang kecanggihan teknologi kokpit.
Baca Juga : Melacak Sejarah Gempa dan Tsunami Purba dalam Mitos Nyi Roro Kidul
Sejarah panjang
Boeing 737 adalah jenis pesawat yang memiliki badan yang sempit dengan dua mesin jet. Pesawat ini memiliki sejarah yang panjang. Pesawat jenis ini mulai terbang sejak tahun 1968 dan Boeing telah menjual lebih dari 10.000 unit. Hal ini menjadikannya pesawat terlaris dalam sejarah. Pesawat jenis 737 Max, yang pertama kali dikirim pada tahun 2017, adalah generasi keempat. Pesawat ini sudah diorder 5.011 kali dan sebanyak 370 unit sudah diantar. Nilai pesanan itu setara dengan 64% dari produksi Boeing selama 14 tahun ke depan. Pada tahun 2011, Boeing mencetak rekor penjualan pesawat komersial terbesar di dunia ketika Lion Air Indonesia berkomitmen untuk membeli 201 Boeing 737 Max dan 29 Boeing 737-900 ER dengan total nilai AS$22 miliar dollar atau sekitar Rp 312 triliun .
Boeing memulai mengembangkan pesawat 737 Max setelah American Airlines, pelanggan setianya, pada Juli 2011 beralih ke Airbus, pesaingnya yang bermarkas di Prancis. Untuk menyamai efisiensi energi model A320neo, pesaing langsung dari model 737, Boeing memutuskan untuk memperbaiki desain dan mengubah posisi dan ukuran mesin. Pada model yang baru, ukuran mesin diperbesar dan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dan ke depan. Desain yang baru dengan bahan yang lebih ringan mengurangi konsumsi bahan bakar sebesar 14%, tetapi juga membutuhkan perubahan signifikan pada sistem kontrol dan lainnya.
The 737 Max tersedia dalam empat model, yang paling populer adalah Max 8 dan 9, yang masing-masing dapat memuat 210 dan 220 penumpang. Sebagai strategi untuk menjual pesawat model ini dengan lebih cepat, Boeing membuat versi baru yang cukup mirip dengan versi sebelumnya sehingga pilot tidak perlu dilatih ulang. Sementara ini masuk akal sebagai strategi komersial, beberapa pilot mengeluh bahwa sistem baru membuat pesawat 737 Max sebagai pesawat yang benar-benar berbeda cara menerbangkannya.
Kecelakaan yang terpisah tapi kondisi sama
Tabrakan fatal pertama dari pesawat 737 Max terjadi pada 29 Oktober 2018. Penerbangan Lion Air JT610 meninggalkan Jakarta menuju Pangkal Pinang di kepulauan Bangkal Belitung dalam kondisi ideal. Pesawat itu baru dan cuacanya bagus. Namun, setelah 11 menit, pilot melaporkan masalah teknis dan berusaha untuk kembali ke bandara asal, tetapi sia-sia. Pesawat tidak dapat mencapai ketinggian, akhirnya menukik, dan jatuh ke Laut Jawa kurang dari 15 menit setelah lepas landas. Semua 189 penumpang dan awak tewas.
Kecelakaan kedua terjadi pada 10 Maret 2019. Hari itu, penerbangan ET302 lepas landas dari Addis Ababa, menuju Nairobi, Kenya. Pesawat itu dikirim setahun sebelumnya dan diperiksa hanya sebulan sebelumnya. Pilot yang menerbangkannya sangat berpengalaman, dengan pengalaman 8.000 jam penerbangan. Namun, enam menit setelah lepas landas, ia melaporkan kesulitan teknis dan meminta untuk kembali. Permintaan itu dikabulkan, tetapi pesawat menghilang dari radar. Jumlah korban meninggal 157, berasal dari 35 negara yang berbeda. Seluruh delegasi PBB yang terdiri dari 19 orang tewas.
Kerusakan sensor dan perangkat lunaknya
Mengingat kemiripan dari dua tabrakan tersebut, para pakar penerbangan menganggap mereka tidak mungkin kebetulan–pasti ada penyebab serius yang sama, dan orang kemudian mempertanyakan desain dari 737 Max. Memang, sebuah laporan tahun 2018 oleh Administrasi Penerbangan Federal AS (FAA) menunjukkan bahwa sensor penerbangan, juga disebut sensor angle of attack (AOA), yang dirancang untuk menghindari gagalnya pengangkatan pesawat, diduga rusak pada setidaknya sebanyak 246 pesawat 737 Max di seluruh dunia. Jika informasi yang disediakan oleh sensor-sensor ini untuk menstabilkan pesawat salah maka dapat menyebabkannya menukik.
Baca Juga : Segepok Uang Melayang-Layang di Kembang Jepun Sejak 1941, Siapa Punya?
Pada musim gugur 2018, pilot-pilot 737 Max dari Amerika Serikat menyampaikan kekhawatiran mereka di database NASA tentang anomali autopilot ini yang dapat menyebabkan pesawat menukik. Ada juga keluhan bahwa buku petunjuk pesawat itu “tidak memadai dan hampir secara undang-undang juga tidak sesuai”.
Dalam kasus dua kecelakaan 737 Max 8 yang baru terjadi, “sistem augmentasi karakteristik manuver” (MCAS) diduga gagal. Laporan apendahuluan tentang kecelakaan Lion Air menyatakan bahwa pilot tidak dapat melakukan perintah untuk turun secara otomatis yang dilaporkan lebih dari 20 kali. Kerusakan serupa terjadi sehari sebelumnya di pesawat yang sama, namun banyak pilot tidak menyadari bahwa itu bisa terjadi bahkan ketika pesawat diterbangkan secara manual. Boeign mengeluarkan catatan untuk maskapai penerbangan yang mengoperasikan 737 Max bahwa jika terjadi kegagalan pada sistem yang baru, tindakan yang benar adalah dengan menonaktifkannya. Menanggapi kekhawatiran yang berkelanjutan, Boeing merespons dengan mengumumkan perbaikan untuk MCAS.
Pada 11 Maret, CEO Boeing Dennis Muilenberg membela model 737 Max dan berusaha meredakan spekulasi tentang menunjukkan integritas dan keamanannya. Hari berikutnya, FAA mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa Max 8 dan 9 keduanya layak terbang. Namun, FAA secara bersamaan menuntut agar Boeing melakukan perubahan pada MCAS paling lambat April. Maskapai AS seperti Southwest, United dan American Airlines awalnya memutuskan untuk terus menggunakan 60 Boeing 737 Max sebagai bukti kepercayaan mereka pada model pesawat tersebut.
Dengan lebih dari 370 layanan penerbangan yang beroperasi menggunakan pesawat model ini pada Februari 2019, puluhan ribu penumpang bepergian dengan 737 Max setiap hari, dan semakin banyak yang khawatir. Ada laporan dari penumpang yang berusaha mengubah atau membatalkan perjalanan ketika mereka tahu mereka akan naik model pesawat tersebut, bahkan terkadang menolak untuk naik kembali. Hashtags seperti #GroundBoeing737 mulai menyebar di Twitter.
Pada Senin, 11 Maret, sejumlah negara mengumumkan bahwa mereka akan segera melarang penerbangan 737 Max, termasuk Etiopia, Indonesia, dan China. India melakukannya pada hari yang sama, sebuah keputusan yang mempengaruhi setidaknya dua maskapai dengan total 18 pesawat. FAA dan pemerintah AS dan Kanada terus menegaskan bahwa tidak ada bukti hubungan langsung antara dua kecelakaan tersebut, dan juga tidak terdapat bahaya dalam menerbangkan 737 Max. Hal itu berubah pada Rabu, 13 Maret, ketika kedua negara akhirnya menghentikan layanan pesawat tersebut.
Ketidakpercayaan dan pembatalan pesanan
Dengan banyaknya layanan penerbangan yang menggunakan pesawat model 737 Max dihentikan, beberapa maskapai telah menuntut kompensasi, sementara itu pesawat yang telah dipesan mungkin dibatalkan. Lion Air, yang berkomitmen untuk membeli 201 Boeing 737 pada 2011, telah menunda pengiriman pesawat dan mungkin beralih ke Airbus.
Baca Juga : Hanya Tersisa 22 di Dunia, Hewan Ini Terancam Punah dalam Hitungan Bulan
Selain harga yang harus dibayar karena hilangnya nyawa manusia, dua kecelakaan 737 Max telah sangat merusak reputasi Boeing dan dapat mengancam masa depannya. Perusahaan tidak dapat menunggu hasil penyelidikan tentang penyebab kecelakaan untuk mengambil tindakan. Butuhnya tindakan cepat dari perusahaan juga diperjelas oleh 12% penurunan harga sahamnya.
Kecelakaan yang terjadi juga menyoroti kehadiran teknologi di pesawat saat ini. Sistem autopilot yang canggih dan bahkan kecerdasan buatan memainkan peran yang lebih besar dalam desain dan pengoperasian pesawat. Dibandingkan dengan sistem yang digunakan oleh Airbus, sistem yang dibuat Boeing lebih tradisional dan melibatkan pelatihan pilot yang ekstensif. Tapi ini sebelum datangnya 737 Max dan adanya kompetisi untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan harga saham di pasar.
Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Muhammad Gaffar.
Oihab Allal-Chérif, Full Professor, Information Systems, Purchasing and Supply Chain Management, Neoma Business School
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.