Gemerlap Para Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 27 Maret 2019 | 10:00 WIB
Kruiskerk atau Gereja Salib di Batavia pada abad ke-17 karya Johan Nieuhof (1618-1672). Inilah gereja kedua yang dibangun di luar Kastel Batavia. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

Lukisan cat minyak karya Andries Beeckman yang menggambarkan Kastel Batavia sekitar 1656. (Tropenmuseum/Wikimedia)
 
Baca Juga :  
Jean Gelman Taylor, menulis tentang pamer kemewahan itu di dalam bukunya Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia yang diterbitkan oleh The University of Wisconsin Press pada 1983. Menurut Taylor, yang seorang Guru Besar di University of New South Wales, kebiasaan pamer ini tidak berasal dari kalangan ningrat di negeri asal mereka, Belanda. Justru kebiasaan ini adalah pengaruh budaya Asia dan budaya Portugis, demikian hemat Taylor.

Graaf melukiskan dalam catatannya bahwa nyonya-nyonya itu ibarat putri raja yang manja dan selalu ingin dilayani dan dipenuhi segala kebutuhannya. “Bahkan sedotan yang jatuh di lantai, mereka memanggil para budak untuk mengambilnya,” demikian tulisnya. Malangnya, para budak kerap didera sumpah serapah atau hukuman cambuk apabila mereka bekerja lamban atau tak memenuhi pinta sang nyonya majikan.

Demikianlah, sepotong kehidupan sosial di sebuah kota yang kelak melahirkan Megapolitan Jakarta dengan segala keruwetan dan gengsi budayanya. Jikalau nyonya sosialita zaman VOC tampak eksis bersosialisasi di gereja, kini nyonya sosialita modern abad ke-21 tampak eksis bergaul di mal dan pusat berbelanjaan mewah.