Nationalgeographic.co.id - “Apa yang pertama kali dilakukan Chairil saat tiba di Batavia?” tanya Hasan Aspahani yang memantik diskusi pada sebuah acara bincang sore. Peserta diskusi pun duduk termangu menanti jawabnya. Semesta hening untuk beberapa saat.
Hasan sudah dikenal sebagai jurnalis dan penyair kawakan. Sejumlah buku puisinya telah terbit, dan beberapa sajaknya digubah dan direkam oleh Ananda Sukarlan. Namun, belakangan namanya melejit kembali dalam serangkaian diskusi pustaka dan sastra sejak buku biografi Chairil yang disusunnya terbit pada akhir tahun silam.
Chairil mulai merantau dari Medan ke Batavia pada akhir 1941, seperti yang dituturkan Hasan dalam bincang sore itu. Saat itu usia Chairil sudah 19 tahun. Dia melanjutkan sekolah ke MULO di kawasan Pasar Baru. "Dia tidak tamat," kata Hasan, "tetapi dia bisa berbahasa Belanda, berbahasa Inggris, dan Prancis."
Baca juga: Milenial Tenyata Generasi Paling Sabar
Kita mungkin selama ini membayangkan Chairil sebagai seorang pemuda yang tak punya pilihan. Bayangan itu tampaknya salah. Chairil adalah pemuda yang memiliki banyak pilihan. Ayahnya, yang bernama Toeloes bin Haji Manan, menjabat sebagai Controleur—setingkat bupati pada zaman sekarang. Dia mengemban tugas sebagai inspektur penghubung pemerintah Hindia Belanda dengan para penguasa lokal. "Orang yang senyaman itu hidupnya, pendidikannya apa saja bisa," Hasan menambahkan, "tetapi memilih menjadi penyair dengan segala risiko."
Sebagai seorang anak lelaki satu-satunya, Chairil sejatinya punya banyak jalan hidup. Apalagi pada zaman itu, orang-orang Sumatra banyak yang melanjutkan pendidikan ke Belanda, termasuk Sutan Sjahrir—pamannya sendiri.
Tampaknya semesta telah menelikungnya. Dia ditakdirkan memang harus hidup di Batavia. Dia ditakdirkan menyintas suatu kehidupan yang tidak nyaman.
“Tapi, nasibnya...,” ujar Hasan. “Jepang masuk pada awal 1942.” Sejak saat itu komunikasi Jawa dan Sumatra putus. Perkara surat-menyurat hingga urusan kiriman uang pun ikut pupus. Seluruh pelajar Sumatra yang berada di Jawa dipulangkan oleh Jepang dengan angkutan dua kapal besar. Asrul Sani dan Sitor Situmorang, kelak keduanya sohor sebagai sastrawan, turut pulang. Namun, Chairil tidak pulang.
“Kenapa Chairil tidak pulang?” Hasan melontarkan pertanyaan retorika. Lalu, dia melanjutkan berkata, “Sepertinya itu naluri, ya.”
Tampaknya semesta telah menelikungnya. Dia ditakdirkan memang harus hidup di Batavia. Dia ditakdirkan menyintas suatu kehidupan yang tidak nyaman. Dia ditakdirkan menerima risiko bahwa tidak ada lagi uang kiriman dari ayahnya. Dan, dia juga ditakdirkan tak berumur panjang. Lengkaplah segala penderitaan Chairil.
“Chairil sejatinya seorang yang perlente,” ungkap Hasan. Bukan seorang yang berkepribadian kuyu dan kusut. Pada akhirnya, dia terpaksa kuyu dan kusut lantaran sang ayah tidak bisa mengirimkan uang kepadanya. “Akhirnya dia menjadi bohemian,” imbuhnya. “Mencuri sepeda, jaket, sprei, ditangkap kempetai, dipukulin, dimasukin penjara, lalu ke luar lagi—tetap saja begitu.”
Lalu, apa yang pertama kali dilakukan pemuda itu setibanya di Batavia, jelang Hindia Belanda tamat?
“Bikin jas!”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR