Nationalgeographic.co.id— “Saya hendak memperbaiki segala keburukan akibat kekhilafan masa muda saya dan untuk membayar utang saya,” ungkap David van Lennep kala berjejak di Batavia pada akhir abad ke-18.
Kota itu awalnya sebuah kastel kecil di muara Ciliwung pada awal abad ke-17, dan berkembang menjadi kota perdagangan terbesar di Asia Tenggara, sekaligus permukiman orang-orang Eropa. Di sinilah Vereenigde Oost-Indische Compagnie —maskapai dagang Belanda di Hindia Timur—membangun markas besarnya.
Lennep bukan petinggi kompeni yang kaya, dia hanyalah seorang pegawai pada Mahkamah Pengadilan. Lantaran dera utang yang menggunung dan tak kunjung lunas, Lennep bercita-cita menikahi seorang janda kaya di kota ini.
Baca Juga : Segepok Uang Melayang-Layang di Kembang Jepun Sejak 1941, Siapa Punya?
Lennep menikahi sang janda kaya karena terangsang oleh hukum perkawinan Kota Batavia. Peraturannya mengatakan, semua harta milik istri—baik usaha sendiri maupun warisan—serta merta menjadi milik suaminya.
Bagi para lelaki yang menjadi pegawai kompeni di Batavia, seperti Lennep, perkawinan merupakan bagian dari menanam modal yang kelak mendatangkan keuntungan materi.
"Pada masa itu, ada anggapan bahwa perempuan yang telah menikah berkali-kali—dua hingga empat kali—bukan sesuatu yang fantastis."
Janda-janda muda lebih menawarkan kemungkinan yang lebih menarik untuk menumpuk kekayaan—atau setidaknya untuk hidup berkelimpahan. Para lelaki muda menilai mereka lebih matang dan punya tingkatan lebih tinggi, apalagi jika janda itu telah berkali-kali menikah, ketimbang gadis-gadis remaja kalangan elite di Batavia.
Pada masa itu, ada anggapan bahwa perempuan yang telah menikah berkali-kali—dua hingga empat kali—bukan sesuatu yang fantastis. Barangkali salah satu alasannya, rata-rata perempuan di Batavia mempunyai kecenderungan berusia lebih panjang ketimbang suami mereka. Lagipula, pada kenyataannya bagaikan suratan nasib: Hanya sekitar sepertiga lelaki pegawai kompeni yang bisa menjejakkan kembali ke tanah kelahiran.
Para nyonya punya keleluasaan berbisnis, lantaran para suami mereka yang bekerja sebagai pegawai VOC dilarang melakukan perdagangan pribadi. Peraturan ini diberlakukan sangat ketat sehingga para nyonya memainkan peranan penting dalam kiprah menimbun kekayaan. Mereka, nyonya-nyonya besar, terlibat langsung dalam jaringan bisnis dagang pribadi. Bahkan, tak sedikit yang menjadi makelar wisma mewah, sampai sebagai rentenir yang meminjamkan uang kepada orang-orang Cina di Batavia.
Salah satu dari sekian kisah perempuan yang telah menikah beberapa kali dan sukses menjadi orang kaya adalah Maria van Aelst, janda yang ditinggal mati para suaminya.
Banyaknya lelaki peminat janda di Batavia telah melahirkan sebuah pemeo lawas: Jika perempuan itu merupakan janda seorang kaya, dia pun segera menghadapi sejumlah peminang—segera setelah suaminya dimakamkan.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR