Nationalgeographic.co.id—Saya masih ingat romansa cahaya lampu yang berpendar dari jendela-jendela vila tua tinggalan Reinier de Klerk di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Sebagai warga kota penggemar kisah penjelahan, saya turut menyaksikan pameran fotografi bertajuk "Deep Sea" di lantai keduanya pada Februari 2005.
Pameran menampilkan suasana kedalaman berbagai samudra—termasuk repihan Titanic—karya Emory Kristof (1942-2023). Kita mengenangnya sebagai sosok "fisherman with a lens". Pameran ini digelar sebagai bagian rangkaian acara jelang peluncuran majalah National Geographic Indonesia.
Sementara di lantai satu, tim staf penyambut sibuk menjelaskan kepada calon mitra bisnis seputar misi National Geographic. Majalah peraganya edisi purwarupa bertajuk "Di Balik Bollywood"—yang dicetak terbatas, tidak dijual, dan tidak boleh dibawa pulang.
Namun, saya justru diam-diam membawa pulang edisi purwarupa itu. Astaga, sungguh perilaku yang tak patut ditiru.
Bulan berikutnya di gedung yang sama, majalah bingkai kuning resmi diluncurkan pada Senin, 28 Maret 2005. Jakob Oetama, selaku Publisher dari National Geographic Indonesia dan Direktur Kelompok Kompas Gramedia, memberikan sambutan. "Interaksi dengan kebersamaan dan pemikiran kita tentang Indonesia akan memengaruhi dan memberi warna bagi kehidupan ini," pesannya.
Kelak, pesan itu menginspirasi Ekspedisi Pusparagam Kehidupan yang terbit beberapa seri dan masih berlanjut. Kami mendokumentasikan ragam alam dan budaya, bahkan ketika kehidupan ini menuju kepunahan.
Sejarah pun bermula. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani sampul edisi perdana National Geographic Indonesia, tanda resmi peluncuran misi bingkai kuning di Nusantara. Selain Jakob Oetama, peluncuran ini disaksikan oleh Executive Vice President National Geographic Society Terrence B. Adamson (1928-2021), dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
“Saya berkomitmen untuk turut serta mengembangkan majalah ini demi kemajuan bangsa Indonesia," kata Yudhoyono dalam sambutannya yang dikutip surat kabar Kompas. Saya menyampaikan penghargaan kepada National Geographic Society yang memberi kepercayaan kepada Kelompok Kompas Gramedia untuk menerbitkannya dalam edisi Indonesia.”
Pada kesempatan yang sama siswa-siswa berprestasi asal 50 sekolah mendapatkan beasiswa dari National Geographic Society. Selain itu di pekarangan belakang tim peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia memamerkan kerangka Homo floresiensis dan Homo erectus.
Edisi Pertama: Temuan Spesies Manusia Baru di Flores
Boleh dikata, majalah edisi pertama yang menggegerkan. Pertama, karena kemunculannya yang mengentak pembaca Indonesia. Kedua, sampulnya menampilkan seraut wajah Homo floresiensis dengan mata yang seolah membelalak, temuan kerangka manusia katai dari Flores yang menggegerkan dunia. Pada peluncuran itu dipamerkan juga kraniumnya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR