Nationalgeographic.co.id—Pada 2017, sebuah studi kontroversial yang menyatakan kecerdasan buatan (AI) dapat memprediksi orientasi seksual seseorang melalui foto wajah menuai reaksi keras. Kalangan akademisi, pakar teknologi, dan pembela hak LGBTQ mengkritik studi ini. Penelitian ini dilakukan oleh peneliti Universitas Stanford.
Studi ini telah ditinjau oleh ilmuwan lain dan diterima untuk diterbitkan di Journal of Personality and Social Psychology milik American Psychological Association (APA).
Namun, studi ini menuai kecaman setelah pertama kali dilaporkan oleh The Economist pad 9 September 2017. APA sendiri menyatakan sedang "memeriksa lebih dekat" penelitian ini karena "sifatnya yang sensitif," seperti yang dikonfirmasi juru bicara APA kepada NBC News.
Studi berjudul "Deep neural networks are more accurate than humans at detecting sexual orientation from facial images," melatih model komputer. Tujuan dari studi yang kemudian dikenal sebagai “gaydar” itu adalah mengenali ciri "atipikal gender" pada pria gay dan lesbian.
Peneliti Yilun Wang dan Michal Kosinski menulis dalam abstrak makalah bahwa wajah mengandung lebih banyak informasi tentang orientasi seksual. Informasi ini bahkan tidak dapat dirasakan dan diinterpretasikan oleh otak manusia.
“Dengan satu gambar wajah, pengklasifikasi dapat dengan benar membedakan antara pria gay dan heteroseksual dalam 81% kasus, dan dalam 74% kasus untuk wanita. Hakim manusia mencapai akurasi yang jauh lebih rendah: 61% untuk pria dan 54% untuk wanita,” papar keduanya.
Abstrak tersebut juga menyebutkan bahwa pria dan wanita gay cenderung memiliki morfologi wajah, ekspresi, dan gaya perawatan yang atipikal gender. Hal ini sesuai dengan teori hormon prenatal tentang orientasi seksual.
Kala itu, kelompok advokasi LGBTQ seperti GLAAD dan Human Rights Campaign (HRC) juga mengecam studi ini. Mereka mengeluarkan pernyataan bersama yang mengkritik penelitian tersebut dan potensi penyalahgunaannya.
Kepala Petugas Digital GLAAD, James Heighington, menyatakan teknologi tidak dapat mengidentifikasi orientasi seksual. Teknologi ini hanya mengenali pola pada sebagian kecil orang gay dan lesbian kulit putih yang terbuka di situs kencan yang terlihat serupa. Metode ini adalah cara peneliti mendapatkan gambar untuk penelitian mereka.
Heighington menambahkan, “Pada saat kelompok minoritas menjadi sasaran, temuan sembrono ini dapat berfungsi sebagai senjata untuk merugikan baik heteroseksual yang secara tidak akurat diungkapkan, maupun orang gay dan lesbian yang berada dalam situasi di mana pengungkapan diri berbahaya.”
Jae Bearhat, seorang individu gay dan nonbiner, juga mengungkapkan kekhawatiran pribadi. Teknologi semacam ini dapat berbahaya bagi komunitas LGBTQ. Menurut Bearhat, penelitian ini menghidupkan kembali diskusi tentang "gen gay" dan konsep homoseksualitas sebagai ciri fisik yang dapat diidentifikasi.
Baca Juga: Sains Kontroversial: Perilaku Biseksual Secara Genetik Terkait dengan Kecenderungan Ini
KOMENTAR