Stigma Janda Muda dalam Tembok Kota Batavia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 25 Maret 2019 | 10:26 WIB
Lukisan cat minyak karya Andries Beeckman yang menggambarkan Kastel Batavia sekitar 1656. (Tropenmuseum/Wikimedia)

"Pada masa itu, ada anggapan bahwa perempuan yang telah menikah berkali-kali—dua hingga empat kali—bukan sesuatu yang fantastis."

Janda-janda muda lebih menawarkan kemungkinan yang lebih menarik untuk menumpuk kekayaan—atau setidaknya untuk hidup berkelimpahan. Para lelaki muda menilai mereka lebih matang dan punya tingkatan lebih tinggi, apalagi jika janda itu telah berkali-kali menikah, ketimbang gadis-gadis remaja kalangan elite di Batavia.

Pada masa itu, ada anggapan bahwa perempuan yang telah menikah berkali-kali—dua hingga empat kali—bukan sesuatu yang fantastis. Barangkali salah satu alasannya, rata-rata perempuan di Batavia mempunyai kecenderungan berusia lebih panjang ketimbang suami mereka. Lagipula, pada kenyataannya bagaikan suratan nasib: Hanya sekitar sepertiga lelaki pegawai kompeni yang bisa menjejakkan kembali ke tanah kelahiran.

Para nyonya punya keleluasaan berbisnis, lantaran para suami mereka yang bekerja sebagai pegawai VOC dilarang melakukan perdagangan pribadi. Peraturan ini diberlakukan sangat ketat sehingga para nyonya memainkan peranan penting dalam kiprah menimbun kekayaan. Mereka, nyonya-nyonya besar, terlibat langsung dalam jaringan bisnis dagang pribadi. Bahkan, tak sedikit yang menjadi makelar wisma mewah, sampai sebagai rentenir yang meminjamkan uang kepada orang-orang Cina di Batavia.

Peta Kota Batavia yang diterbitkan oleh Homannischen Erben pada 1733. Tangerang berada di kawasan paling barat pada peta ini. (Rijksmuseum Amsterdam/Atlas of Mutual Heritage)

Salah satu dari sekian kisah perempuan yang telah menikah beberapa kali dan sukses menjadi orang kaya adalah Maria van Aelst, janda yang ditinggal mati para suaminya.

Banyaknya lelaki peminat janda di Batavia telah melahirkan sebuah pemeo lawas: Jika perempuan itu merupakan janda seorang kaya, dia pun segera menghadapi sejumlah peminang—segera setelah suaminya dimakamkan.